Sejatinya, polisi adalah musuh. Bermula dari patroli budak di Amerika Selatan awal, lembaga ini memiliki sejarah yang tak terputus untuk melindungi dan menegakkan supremasi kulit putih. Baru-baru ini, pergerakan di Amerika Serikat telah mengklarifikasi garis sejarah kekerasan rasis ini; yang dimulai dengan patroli budak dan berpuncak pada pembunuhan polisi terhadap orang berkulit hitam tanpa pandang bulu.
Tapi, supremasi kulit putih bukanlah satu-satunya fungsi polisi. Sejarahnya, kepolisian Inggris adalah untuk menangkap dan mengendalikan pekerja yang tidak patuh — dengan menciptakan kurikulum “kelas pekerja kulit putih” melalui proses inklusi, pendisiplinan, dan edukasi. Kepolisian memiliki sejarah ganda: salah satunya adalah eksklusi kekerasan dan salah satu lainnya ialah inklusi berbahaya. Jika oposisi kita terhadap polisi hanya bertumpu pada warisan rasisme atau penindasan kelas mereka, maka kita berisiko menyerang suatu gejala alih-alih mencabut keseluruhannya. Kita menentang polisi tidak hanya dikarenakan kelompok dan senjata mereka, tetapi juga, karena cara mereka menyusup ke dalam pikiran kita menjadikan kita sebagai polisi warga negara dan kaki tangannya yang tak disadari.
Oleh karenanya, daripada menelusuri sejarah kepolisian dari awal hingga akhir, di sini saya tawarkan sejarah metafisik polisi; sejarah yang terjadi di kedua sisi Samudera Atlantik, di Inggris dan koloni Inggris di Amerika. Dari dua momen yang patut dijadikan contoh, kita dapat melacak logika pemolisian yang terpisah tapi terkait — dua tanda yang tak bisa dipisahkan dari asal-usul pemolisian dan dari manifestasinya saat ini. Yang pertama adalah kisah tentang patroli budak, anti-Kulit Hitam, dan dasar-dasar perbudakan yang menopang masyarakat sipil kulit putih. Yang kedua adalah kisah inklusi; tentang badan-badan tertentu yang dimasukkan ke dalam masyarakat sipil yang diberikan hak-hak tertentu sambil dididik dan didisiplinkan ke dalam kurikulum baru.
Beberapa biner dalam kepolisian kontemporer adalah berupa kekerasan penuh dan kekerasan berepisode; hukuman dan disiplin; rasisme dan sibernetika; & patroli budak dan kontrol kerumunan. Seolah terpisah tapi berada di tubuh yang sama, kisah-kisah yang berlanjut seperti ini layaknya kedua tangan negara: yang satu menawarkan jabat tangan yang bersahabat dan tangan yang lainnya memanggul senjata.
Marilah kita mulai kisah ini pada tahun 1819.
Dua Momen Pemolisian
Carolina Selatan, 1819
Perkebunan kapas menjadi tulang punggung perekonomian. Populasi kulit hitam melebihi jumlah orang kulit putih dan ketakutan kulit putih akan pemberontakan budak merajalela. Majelis Umum Carolina Selatan memberlakukan undang-undang yang mewajibkan semua pria kulit putih di atas usia 18 tahun untuk berpartisipasi dalam patroli budak — yang tak patuh akan dikenai denda 2 dollar dan 10% dari pajak terakhir para pelanggar.
Patroli budak di Carolina Selatan — yang berlangsung sejak 1671 — mengubah momen ini dari tanggungjawab pemilik budak menjadi tanggungjawab semua masyarakat kulit putih. Patroli berkeliaran di pedesaan dan kota-kota, meneror orang kulit hitam yang ditemukan di luar setelah gelap, memeriksa izin, dan menyerbu rumah-rumah untuk mencari senjata atau rencana pemberontakan. Peraturan baru ini berdasarkan pada dua upaya pemberontakan dan mencerminkan ketakutan yang semakin besar di kalangan kulit putih mengenai kabar pemberontakan budak yang tersebar luas. Hukum ini berfungsi untuk mewakili semua masyarakat kulit putih melawan budak kulit hitam dan orang merdeka.
Patroli budak menyebarkan teror rasis di bagian Selatan Amerika.
“Patroli budak memiliki kekuatan dan wewenang penuh untuk memasuki perkebunan apapun dan menghancurkan rumah-rumah orang Negro atau tempat-tempat lain ketika para budak dicurigai memegang senjata; untuk menghukum pelarian atau budak yang ditemukan di luar perkebunan mereka tanpa izin; untuk mencambuk setiap budak dengan keharusan menghina atau melecehkan mereka dalam pelaksanaan tugas mereka; dan untuk menangkap dan mengambil budak yang dicurigai mencuri ataupun dengan pelanggaran pidana lainnya, serta membawanya ke hakim terdekat,” tulis Philip S. Foner dalam bukunya History of Black Americans: From Africa to the Emergence of the Cotton Kingdom (terbitan tahun 1975). Patroli budak ini secara bertahap menjadi lebih profesional dan dilembagakan sampai berkembang langsung menjadi kepolisian Amerika modern.
St. Peter’s Field, Manchester, Britania Raya, 16 Agustus 1819
Matahari menyoroti pertemuan massa pekerja yang menuntut reformasi dan hak pilih parlemen di Alun-alun St. Peter’s. Dengan mengenakan pakaian terbaik untuk hari Minggu mereka, secara ketat, mereka diperintahkan untuk tetap damai dan terhormat. 60000 pekerja berkumpul dalam formasi untuk mendengarkan pidato, membuat rencana tuntutan secara legal, dan reformasi parlemen. Dikarenakan khawatir akan pemberontakan, kombinasi milisi yang terdiri atas penjaga toko, pedagang istimewa, serta beberapa pasukan militer dan kavaleri dikumpulkan demi “menjaga perdamaian”. Segera setelah Henry Hunt memulai pidatonya, para milisi Yeomanry menyerang. Seseorang yang selamat menggambarkannya sebagai berikut:
Saat pasukan berkuda berformasi, mereka diterima dengan teriakan niat baik — seperti yang saya mengerti. Mereka berteriak lagi, melambaikan pedangnya di atas kepala, dan kemudian mengendurkan kendali dan menyodok kuda-kuda mereka untuk berlari maju dan mulai memotong orang-orang.
“Berdirilah, cepat,” kataku, “mereka menunggangi kita; berdirilah dengan kuat.” Dan ada seruan umum dari bagian kami, “Berdirilah dengan cepat.” Kavaleri berada dalam kebingungan: mereka jelas tidak bisa — dengan segala beban manusia dan kuda — menembus massa manusia yang padat itu. Pedang mereka diarahkan untuk memotong jalan melalui tangan-tangan telanjang yang diangkat dan kepala-kepala yang tak berdaya.
Dan kemudian, terlihatlah anggota badan dan tengkorak yang luka menganga. Erangan dan tangisan bercampur dengan hiruk-pikuk kebingungan mengerikan itu. Ada yang berteriak, “Ah! Ah! Memalukan! Memalukan!” Lalu, “Istirahat! Istirahat! Mereka membunuh mereka di depan dan mereka tidak bisa pergi.” Dan ada seruan lagi, “Istirahat! Istirahat!”
Untuk sesaat, kerumunan menahan diri seperti dalam jeda. Saat itu, suasana sedang tergesa-gesa, berat, dan tak tertahankan bagaikan lautan lepas dan suaranya seperti guntur rendah; dengan teriakan, doa, dan kutukan dari kerumunan yang dihina dan dihancurkan oleh pedang yang tidak bisa melarikan diri.
Peristiwa itu kemudian disebut sebagai “Pembantaian Peterloo” — sebagai plesetan untuk Pertempuran Waterloo pada empat tahun sebelumnya. Lima belas orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka oleh pedang dan kuda milisi. Konsekuensi langsungnya ialah penumpasan nasional terhadap perbedaan pendapat tetapi tetap ada saja reaksi balasan dari publik. Bahkan kaum borjuis kecil yang hadir — sebagai penentang politik kelas pekerja Republikan — merasa ngeri dengan kekerasan yang tak pandang bulu ini. Negara dan kaum kapitalis menuntut bahwa kelas pekerja harus dikendalikan tapi tidak diberantas. Diperlukan teknik baru untuk mengatur kerumunan yang tidak patuh; untuk mengendalikan mereka dan mengintegrasikannya ke dalam masyarakat sipil. Pemerintah Britania mengutip Pembantaian Peterloo dan perlunya bentuk-bentuk kontrol kerumunan yang “kurang mematikan” untuk pembentukan Kepolisian Metropolitan London oleh Robert Peel.
Tanda-tanda Pemolisian
Meskipun berbeda, kedua momen ini tidak dapat dipisahkan. Dari Pembantaian Peterloo dan reformasi polisi Inggris, selanjutnya kita dapat melacak masyarakat pendisiplinan, dasar-dasar liberalisme, dan benih-benih kontrol sosial sibernetik dan neoliberal; bahwa subyek harus diidentifikasi, dididik, dan dimasukkan ke dalam masyarakat. Tetapi masyarakat Barat yang liberal dengan warga negaranya yang baik, pekerja Fordisnya, dan wirausahawan neoliberalnya tidak dapat eksis tanpa patroli budak dan apa yang disebut Frank B. Wilderson III sebagai “kekerasan paradigmatik” yang melanda keberadaan orang kulit hitam. Ini adalah kekerasan yang dapat dikeluarkan kapan saja dan tanpa alasan: bukan sebagai hukuman karena pelanggaran, tetapi sebagai hukuman untuk keberadaan seseorang. Jika tanggapan terhadap Pembantaian Peterloo mewakili satu sisi kepolisian yang peduli dengan memberadabkan dan mengelola masyarakat kulit putih, momentum patroli budak dan wajib militer semua orang kulit putih untuk mempolisikan kulit hitam justru sebagai representasi lain.
Sebuah sejarah metafisik kepolisian mengambil dua unsur kepolisian ini. Dua hal ini menjadi rambu penerang ke arah sejarah kepolisian. Jika cahayanya cukup terang dan sangat terfokus pada tempat yang tepat, itu mungkin juga secara tidak langsung menerangi hal-hal tersembunyi lainnya, seperti kontrarevolusi bawah tanah yang bersembunyi tepat di bawah permukaan dalam setiap program radikal.
Sejarah ini tidak berusaha menjadi sebab-akibat atau linier. Sebaliknya, justru menyoroti tanda-tanda yang terlihat dengan kejelasan tertentu. Tanda-tanda pertama kepolisian adalah adanya patroli budak; yaitu persyaratan kematian sosial orang kulit hitam untuk masyarakat sipil kulit putih dan kekerasan polisi rasis tanpa pandang bulu yang berlanjut hingga hari ini. Tanda-tanda keduanya adalah manajemen masyarakat sipil. Mulai dari dua konteks yang berbeda; di Amerika Selatan sebelum perang dunia dan industri Inggris, tanda-tanda ini berlangsung sampai sekarang, sampai mereka bergabung dalam fungsi ganda polisi modern: manajemen dan pengecualian, kekerasan kontingen terhadap pelanggar, dan kekerasan absolut terhadap tubuh-tubuh yang dirasialisasikan. Teknik-teknik yang dibutuhkan oleh motif-motif ini saling berdarah satu sama lain, sementara perpecahan aslinya tetap ada. Kita melihat ini dalam pelecehan dan penargetan tubuh hitam sehari-hari (dalam penembakan polisi, pencekalan, keributan, dan banyak lagi), serta kehadiran polisi yang ramah dalam menyertai Women March di seluruh negeri baru-baru ini.
Perbudakan di Dunia Baru: Pengecualian, Pengawasan, dan Kematian Sosial
Patroli budak tidak dimulai di Carolina Selatan abad ke-19 meskipun mereka mungkin telah mencapai pendewaan simbolis mereka di sana. Dimulai pada 1500-an di Amerika yang baru dijajah, penjajah mulai menggunakan budak, baik yang diimpor dari Afrika atau ditangkap dari penduduk asli setempat. Dan akibatnya, beberapa budak berusaha melarikan diri sehingga benih pertama patroli budak muncul.
Milisi diorganisasi untuk memburu budak yang melarikan diri, menghukum mereka, dan membawa mereka kembali. Salah satu organisasi formal pertama didirikan pada 1530-an di Kuba yang disebut sebagai Santa Hermandad atau Persaudaraan Suci. Akan tetapi, sebagian besar pengaturan ini cenderung kasual dan ekstra-hukum yang terdiri atas sukarelawan atau preman bayaran.
Pada 1661, Kode Budak Barbados ditulis sebagai suatu kerangka hukum pertama untuk mengelola budak. Kode Budak mengkodifikasi perlakuan budak dan khususnya menentukan tanggungjawab orang kulit putih dan pelayan kontraknya untuk mengelola dan melacak mereka. Perlunya pengaturan formal dan kemampuan untuk menimbulkan hubungan kekuatan langsung disoroti oleh Gubernur Barbados Inggris, Willoughby, “Meskipun tidak ada musuh di luar negeri, menjaga budak tetap tunduk harus tetap dilakukan.”
Perlunya mengelola dan mengendalikan budak dengan keras, pada akhirnya, mengimpor 2000 tentara Inggris antara tahun 1692 dan 1702 yang secara eksplisit ditugaskan untuk mengendalikan budak. Perlu dicatat, bahwa Barbados tidak pernah mengalami pemberontakan budak yang signifikan dan sukses. Pada sisi lain di Haiti, yang aparat kontra-pemberontakannya kurang kuat, menjadi saksi pemberontakan budak terbesar yang berhasil dalam sejarah pada 1791.
Pasukan-pasukan tersebut adalah para pemula patroli budak di Amerika Selatan dan selanjutnya menjadi polisi. Mereka berfokus untuk melacak dan mengelola orang-orang tertentu yang dirasialisasikan; dengan mencegah pemberontakan demi pemberontakan, dengan melindungi properti pribadi, dan dengan keras menegakkan pengaturan yang mengubah manusia tertentu menjadi properti.
Patroli budak melewati berbagai literasi secara regional dan historis sebelum kita mencapai 1819 dan wajib militer orang kulit putih. Ini adalah contoh dari logika yang dijelaskan Frank Wilderson III: kehadiran orang kulit putih menandakan dimanifestasikannya fakta bahwa mereka secara standar diwakili oleh mereka yang bermagnet peluru. Singkatnya, orang kulit putih tidak hanya “dilindungi” oleh polisi, malahan secara jasmani mereka adalah polisi.
Logika ini diperluas dengan diperkenalkannya slave pass dalam hukum Selatan dengan perindustrian yang cepat dan hukum-hukum yang jelas di Kota New York. Tidak seperti di Inggris dengan proletariatnya yang tercerabut dari tanahnya; yang dicabut dari sarana penghidupannya melalui pemagaran sehingga menyebabkan perantauan ke kota-kota untuk mencari pekerjaan, dan tidak seperti Amerika Utara dengan pasokan imigran tak berkesudahan yang dikirim dari Eropa sebagai akibat kelaparan, kriminalisasi, atau penganiayaan; di kawasan Selatan, khususnya menjadi tanpa pekerja bebas yang tidak memiliki tanah. Sebagai akibatnya, pemilik budak mulai menyewakan budak mereka kepada kapitalis industri. Secara kebetulan, praktik tersebut tidak pernah berakhir. Meskipun hari ini, praktik ini mengambil bentuk kerja paksa yang disewakan ke berbagai pabrik, perusahaan, dan operasi pertanian.
Peningkatan mobilitas para budak dengan bepergian sendiri ke pabrik dan melewati perkebunan mereka menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap ruang publik kota polisi. Meningkatkan mobilitas juga membutuhkan teknologi yang lebih baru dan lebih kompleks demi melacak dan mengidentifikasi tubuh. Pada awalnya, ada kartu tulisan tangan. Kemudian di berbagai negara bagian dan berbagai waktu, ada formulir cetak, lencana logam, dan bentuk identifikasi awal lainnya; sebagai permulaan untuk paspor dan ID negara yang kita bawa hari ini.
Demikian juga di New York, “hukum lentera” diperkenalkan pada abad ke-18 setelah pemberontakan budak yang gagal dan mengharuskan semua budak membawa lentera ketika bepergian di kota setelah gelap. Simone Browne menggambarkan lentera sebagai alat bantu yang dibuat wajib setelah gelap sebagai sebuah teknologi yang memungkinkan tubuh berkulit hitam untuk terus-menerus disorot dari senja hingga fajar; sengaja dibuat supaya dapat diketahui, dapat ditemukan, dan terdapat di dalam kota.
Penambahan berikutnya pada hukum juga melarang perakitan dan pengangkutan senjata, menunggang kuda melalui kota dengan berlari cepat atau dengan cara lain yang tidak teratur, permainan dan perjudian, dan bersamaan dengan peraturan lain kepada tubuh-tubuh yang dirasialkan di kota. Kita bisa melihat, di sini tidak hanya penciptaan hukum “ketertiban umum” yang selalu bersifat rasis, tetapi juga tentang kondisi dimana tubuh hitam dapat ditemukan bersalah kapan saja.
Kita harus melihat pembunuhan Eric Garner oleh Kepolisian New York atas kejahatan menjual rokok tak berpajak. Melihat logika tersebut, dengan konsekuensi kekerasan dan rasisnya, berlanjut hingga hari ini. Begitupula, “undang-undang lentera” berlanjut hari ini dalam bentuk lampu sorot yang dipasang di proyek perumahan Kulit Hitam dan Latin. Lampu berpendar ke apartemen, memancari interior dengan cahaya, dan memastikan bahwa sejarah cahaya rasis sebagai alat disipliner berlanjut hingga hari ini. Teknologi ini dan penggunaannya terus membuat tubuh hitam menjadi terkecualikan, terkesan luar biasa, dan terkenal: selalu menjadi sasaran kekerasan polisi, paranoia kulit putih, dan pengawasan terus-menerus.
Paspor dan iluminasi perkotaan sama-sama memiliki akar rasis ini, akan tetapi telah melampaui tujuan awal mereka. Di sisi lain Atlantik, di Perancis, Alphonse Bertillon menciptakan sistem pengukuran dan kontrol biometriknya sendiri untuk menangkap penjahat residivis. Dan sekarang, kita semua membawa penanda identitas kita ini yang diamanatkan oleh negara. Melalui proses ini, negara menggunakan metode pseudo-ilmiah untuk membenarkan penindasan yang ada; dengan mengidentifikasi penanda fisik tertentu, menghubungkan mereka dengan ras dan penyimpangan, dan menciptakan penampilan tatanan sosial yang netral. Identifikasi biometrik, meskipun dimulai pada populasi yang dikecualikan, dengan cepat menyebar untuk mencakup seluruh masyarakat. Sebagai manajemen pemolisian sibernetik dan pemolisian berbagi taktik kekerasan supremasi kulit putih, mereka mulai saling melukai satu sama lainnya. Orang-orang yang mendapat manfaat dari supremasi kulit putih tiba- tiba mendapati diri mereka tunduk pada beberapa mekanisme kontrol yang sama. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sebagian libertarian kulit putih yang marah juga mengecam polisi karena menegakkan peraturan pemerintah dan adanya “pemrotes kriminal” yang melawan mereka atau para pendukung blue lives matter yang juga berada dalam milisi anti-pemerintah.
Alphonse Bertillon menggunakan biometrik kuno untuk menangkap anarkis terkenal, Ravachol.
Kontra-Pemberontakan di Eropa: Penciptaan Masyarakat Sipil Kulit Putih
Sepuluh tahun setelah Pembantaian Peterloo, London masih kekurangan pasukan polisi resmi. Berbeda dengan gendarmerie Perancis — polisi militer yang terlibat langsung dalam upaya kontra-pemberontakan, aparat kepolisian London tersebar dan tidak profesional; yang terdiri dari para penjaga malam (yang sering mabuk), penagih pajak, penangkap pencuri, dan detektif.
Reaksi publik atas Pembantaian Peterloo dan keinginan untuk tampil berbeda dari fungsi gendarmerie yang jelas-jelas represif mendorong Parlemen Inggris untuk membuat Kepolisian Metropolitan London pada tahun 1829. Pasukan polisi ini — yang profesional, berseragam, dan tidak bersenjata, sebagian besar terinspirasi oleh Royal Irish Constabulary ciptaan Robert Peel; pasukan kepolisian yang didirikan di Irlandia sebagai area taklukan.
Seperti biasa, mekanisme kontrol dan represi dimulai dalam pengelolaan populasi tertentu yang dikecualikan, seperti koloni, budak, penjahat, dan sebagainya. Lalu, secara bertahap berkembang untuk menggabungkan keseluruhan populasi. Ini adalah proses yang berlanjut hari ini ketika teknik- teknik represif yang dikembangkan oleh militer AS di Irak terhadap pemberontakan yang populer dan dibawa pulang untuk mengelola protes massa atau ketika polisi Oakland menerima pelatihan dari militer Bahrain dalam teknik kontra-pemberontakan dan pengendalian massa selama gerakan okupasi.
Terlepas dari fungsi represif mereka, Polisi Metropolitan London sejak awal dimaksudkan untuk menjadi bagian dari kelas pekerja. Robert Peel dengan tegas percaya bahwa pekerjaan polisi harus “dilakukan oleh orang-orang kelas pekerja, diawasi oleh orang-orang kelas pekerja”. Sementara, fungsi utama mereka adalah pengendalian massa. Mereka berpartisipasi dalam patroli harian yang dirancang untuk membiasakan diri dengan lingkungan dan masyarakat sebagai pendahulu untuk model community policing saat ini. David Whitehouse meringkas divisi dengan rapi: ketika polisi London tidak dikonsentrasikan ke dalam regu untuk mengendalikan kerumunan, mereka disebar ke kota untuk mengawasi kehidupan sehari-hari kaum miskin dan kelas pekerja. Itu meringkas fungsi ganda khas polisi modern; yang mempunyai bentuk pengawasan dan intimidasi yang tersebar yang dilakukan atasnama memerangi kejahatan; dan kemudian, ada bentuk kegiatan terkonsentrasi untuk melakukan pemogokan, kerusuhan, dan demonstrasi besar.
Jalan-jalan kota yang padat adalah tempat pertama kemunculan patroli polisi di Inggris.
Pemolisian kehidupan sehari-hari sangat menarik di sini. Dengan konsentrasi baru populasi besar di London, datanglah upaya baru untuk menggunakan ruang terbuka dan publik dalam kebutuhan kolektif. Hidup pekerja dalam kondisi yang menyedihkan dan sempit. Banyak pula orang datang ke kota tidak memiliki pekerjaan. Orang-orang mulai menggunakan ruang publik untuk berkumpul, untuk pasar informal, untuk menjual barang curian, dan untuk hiburan. Patroli polisi memberlakukan undang-undang “ketertiban umum” yang diarahkan kepada orang miskin dan kelas pekerja dengan moralitas Victoria yang sangat patriarkal; yang secara khusus mengatur dan mengendalikan gerakan dan aktivitas tubuh perempuan di hadapan umum.
Walau ada beberapa kesamaan di sini dengan kebijakan “ketertiban umum” yang dirasialisasikan di Kota New York, perbedaan pentingnya juga ada. Patroli budak di Amerika Selatan dan pemolisian ketertiban umum di kota-kota Utara didasarkan pada perintah rasial yang eksplisit: adalah tugas kulit putih dan warga negara untuk menangkap dan menghukum budak atau membebaskan orang kulit hitam yang ditemukan melanggar peraturan ini. Namun di London, sementara hukum yang ditegakkan jelas berdasarkan pembagian kelas dan gender, mereka yang melakukan penegakan hukum juga berasal dari kelas pekerja. Kekerasan absolut dibenarkan terhadap pelanggaran nyata atau imajiner dan bukanlah pilihan. Polisi melakukan kekerasan kontingen dalam proses pengelolaan kelas sendiri. Serangan balik dari Pembantaian Peterloo menunjukkan bahwa negara tidak dapat memperlakukan warga sebagai sesuatu yang dapat diabaikan. Sebaliknya, masyarakat sipil bergantung pada kelas pekerja yang berpendidikan, beradab, dan terkelola.
Suatu hari hujan musim semi pada 10 April 1848, kaum Chartis (gerakan pekerja-red) merencanakan demonstrasi massal di Kennington Common. Dalam banyak hal, demonstrasi tersebut memiliki tujuan yang sama, meskipun lebih berkembang dibandingkan dengan yang di Lapangan St. Peter pada tahun 1819. Seperti pada tahun 1819, pemerintah takut terhadap kerumunan. Revolusi melanda Eropa pada tahun itu dan mengguncang sistem feodal ke intinya. Seperti pada tahun 1819, ada kehadiran militer yang besar, yang siap untuk menghancurkan pertikaian. Dan seperti pada 1819, tuntutan orang banyak pada dasarnya demokratis dan reformis; mengenai hak pilih laki-laki, penghapusan persyaratan properti untuk anggota parlemen, dan sebagainya. Itu adalah demonstrasi sebagian kelas pekerja yang menuntut partisipasi dalam institusi dan struktur yang membentuk masyarakat sipil.
Tidak seperti tahun 1819, Polisi Metropolitan London turut hadir, termasuk Robert Peel. Berbekal pentungan dan diorganisir menjadi batalion yang disiplin, polisi siap membubarkan kerumunan jika perlu. Tapi saat itu tanpa ada kavaleri dan tidak ada pedang pemotong atau darah tumpah di tengah hujan. Kerumunan itu lebih kecil dari yang diperkirakan dan rencana mereka untuk berbaris di parlemen digagalkan oleh penjagaan polisi yang menghalangi jembatan — sebagai pemanasan awal. Komisaris Polisi London dengan cepat menargetkan salah satu pemimpin Chartis dan memberitahunya bahwa mereka tidak akan diizinkan untuk menyeberangi jembatan, kemudian pemimpin kembali dan berbicara kepada orang banyak, yang bubar tak lama kemudian.
Saat ini, seperti halnya dalam pembantaian tahun 1819 dan patroli budak wajib di Carolina Selatan, ada momen kepolisian yang mengkristal; yakni lahirnya pemolisian yang lunak. Semua elemen hadir dalam bentuk awalnya: ancaman kekuatan yang luar biasa, polisi yang tenang, berseragam, dan disiplin; dengan strategi meminta para pemimpin politik untuk membantu mengelola dan mengurangi keramaian. Tujuan polisi bukan untuk membasmi kerumunan atau untuk menghukum mereka karena berkumpul; tetapi untuk menenangkan kerumunan, untuk memastikan bahwa majelis mereka dianggap terhormat dan tak bertaji.
Yang menonjol dari hal itu adalah penemuan kepolisian jenis baru yang dapat mengklaim aliansi dengan gagasan kebebasan. Inggris mengutip keengganan mereka kepada polisi politik dan militer dari gendarmerie Perancis dalam menciptakan pasukan polisi profesional dan publik. Namun retorika kebebasan dan pengelolaan diri tersebut masih mengandalkan rezim global perbudakan dan penjajahan yang rasis. “Kebebasan” Inggris, seperti yang dipertahankan oleh para filsuf seperti John Stuart Mill, menuntut subyek kolonial sebagai contoh untuk berbeda dengan yang “bebas” dari Inggris, serta institusi, disiplin ilmu, dan tentu saja, polisi untuk menciptakan kewarganegaraan dan ruang dimana dapat melaksanakan “kebebasan”. Gagasan Barat tentang kebebasan dipahami melalui bayangan perbudakan dan penjajahan.
Dua Model Pemolisian
Sejauh ini, kita kontras dengan biner sederhana tentang muasal polisi: patroli budak di Amerika Selatan dan disiplin kelas pekerja di Inggris. Dari yang pertama, kita dapat melacak garis kematian sosial, kekerasan paradigmatik, dan pembenaran universal untuk kekerasan terhadap orang Kulit Hitam. Dari yang terakhir, kita dapat melacak polisi yang represif dan sesekali dengan kekerasan selalu berada di sisi properti dan bos, tapi bisa mengklaim sebagai bagian dari komunitas kelas pekerja. Belum lama berselang, kaum liberal mengklaim bahwa polisi juga merupakan bagian dari 99% dan karenanya bukan musuh dari gerakan okupasi.
Dalam khayalan kulit putih, ada gagasan bahwa seseorang dapat memohon kepada pemerintah dan mereformasi polisi; bahwa kita dapat meningkatkan nasib kita di masyarakat.
Kaum Chartis mencari suara untuk diri mereka sendiri sambil mengabaikan struktur kolonial yang keras yang menyokong kehidupan mereka. Dalam pembingkaian ini, polisi mungkin ada sebagai pembatas yang menekan, tetapi bukan sebagai ancaman eksistensial. Frank Wilderson meringkaskan hubungan ini dengan rapi dalam kecamannya terhadap politik koalisi sosialis yang “dapat membayangkan subyek yang mengubah dirinya menjadi massa formasi identitas yang antagonis, formasi yang dapat memicu krisis perbudakan upah, eksploitasi, dan hegemoni, tetapi… tertidur di belakang kemudi ketika diminta untuk memberikan antagonisme yang memungkinkan terhadap perbudakan, despotisme, dan teror yang tidak terpakai”.
Kesediaan orang kulit putih untuk menerima peraturan polisi dengan imbalan sejumlah manfaat dan hak istimewa menjelaskan mengapa gerakan anti-polisi utamanya meletus di komunitas kulit hitam dan komunitas kulit berwarna. Gerakan Black Lives Matter telah mempopulerkan gagasan bahwa polisi berevolusi dari patroli budak di Selatan. Ini adalah evolusi penting dan membuka ruang baru bagi gerakan anti-polisi untuk meraih arus utama.
Pada saat yang sama, sebuah analisis polisi yang hanya memahami mereka sebagai evolusi dari patroli budak dan terutama sebagai alat supremasi kulit putih, meninggalkan kita dengan sebagian cerita. Ini adalah narasi yang sangat kondusif bagi politik sekutu: jika polisi terutama jahat karena mereka rasis, maka satu-satunya peran orang kulit putih adalah sebagai sekutu. Pekerjaan anti-polisi dengan mudah dibatasi oleh kewajiban moral amal daripada hubungan strategis dan etis perjuangan. Menjadi tidak mungkin bagi orang kulit putih untuk melawan polisi dengan cara mereka sendiri dan bagi kita semua untuk menemukan kekuatan bersama; untuk bertarung karena tujuan kita saling terhubung.
Saat yang sama juga, analisis kontrol sosial sebagai serangkaian teknik manajemen sibernetik sering mengabaikan kekerasan yang sangat nyata dan sangat brutal yang mendefinisikan pemolisian komunitas warna. Ketika Deleuze dan Tiqqun berbicara tentang soft policing atau cara media sosial menumpulkan indera kita dan membatasi imajinasi politik kita, mereka menghapus jejak sepatu boot polisi di tanah komunitas berwarna atau perlawanan.
Jika kita memahami pemolisian sebagai spektrum taktik dan teknik yang diambil dari patroli budak dan pekerja sipil, maka kita mulai melihat bahwa pemolisian menyesuaikan diri dengan apa yang diizinkan secara sosial. Artinya, mereka menggunakan kekerasan yang bisa mereka hindari. Modulasi kekerasan ini terbang di hadapan gagasan bahwa kita semua sama di hadapan hukum.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2017/03/15/police-1.jpg
Masalahnya, bukan bahwa undang-undang tersebut diterapkan secara tidak adil dan perlu direformasi, melainkan bahwa hukum dan kepolisian membutuhkan diferensiasi ini. John Stuart Mill menyadari hal ini sejak awal dan membangunnya ke dalam kerangka kebebasan beradabnya sendiri. Kebebasan harus disediakan bagi mereka yang bertanggungjawab dan telah sepenuhnya diintegrasikan ke dalam manajemen diri. Seperti yang dikatakan Lisa Lowe, formulasi ini dibenarkan dalam tulisan Mill sebagai despotisme pemerintahan kolonial bagi mereka yang “tidak layak” dalam pemerintah perwakilan.
Kita melihat logika ini berperan setiap kali politisi dan polisi mengecam komunitas Kulit Hitam karena kerusuhan, setiap kali Trump berbicara tentang “pembantaian” di Chicago atau Baltimore sebagai pembenaran untuk mengirim agen federal, setiap kali troll sayap kanan meminta polisi untuk menggunakan amunisi langsung terhadap demonstran yang dianggap “buas”.
Pemahaman yang lebih baik tentang kepolisian dan kontrol memungkinkan kita untuk mengembangkan kritik yang lebih bernuansa tentang kontrol sosial, masyarakat sipil, supremasi kulit putih, dan untuk menemukan lebih banyak cara untuk campur tangan dan mengganggu mekanisme kontrol. Pertentangan terhadap polisi tidak boleh berasal dari moralitas abstrak; dimana orang-orang istimewa mengenali dampaknya yang tidak adil terhadap komunitas lain, tetapi dari kebutuhan dan keinginan kita bersama — sebab polisi berdiri di antara kita semua dan dunia yang bebas.
Mencari landasan moral dalam perjuangan anti-polisi hanya akan mengarah pada politik kehormatan atau reformasi kecil yang mengintegrasikan beberapa orang istimewa dengan lebih sepenuhnya ke dalam masyarakat kulit putih dan masyarakat sipil. Alih-alih protes simbolis, kita harus mengganggu kemampuan mereka terhadap polisi. Kita dapat menyabotase manajemen lunak dan pengawasan yang dimungkinkan oleh media sosial, sel-sel penjara, dan mobil polisi yang membentuk tulang punggung kekuatan koersif mereka dan pabrik- pabrik senjata yang memasok mereka. Dunia yang bebas membutuhkan penghancuran kepolisian.