Setelah membantai lebih dari 42.000 warga Palestina, termasuk 16.500 anak-anak, militer Israel kini menginvasi Libanon dan mengancam akan berperang dengan Iran. Dalam laporan mendalam berikut ini, seorang anarkis dari wilayah Palestina yang diduduki Israel mengulas sejarah penjajahan Zionis dan perlawanan Palestina, menjelaskan pentingnya pemahaman anti-kolonialisme terhadap situasi ini, dan mengeksplorasi apa artinya bertindak sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang Palestina.
Ya Ghazze Habibti
Ya Ghazze habibti, oh Gaza cintaku. Gaza, yang oleh Napoleon, salah satu penjajahnya, disebut sebagai pos terdepan Afrika, pintu menuju Asia. Hal ini karena ia melewatinya dalam perjalanan ke utara dan, setelah kalah, melewatinya lagi dalam perjalanan kembali ke Afrika.
Gaza, yang selalu menjadi titik sentral untuk jalur lintas antar kerajaan, rute perdagangan, okupasi (pendudukan), dan budaya, karena letak geografisnya yang berada di sepanjang garis pantai Mediterania. Gaza, yang dilalui Via Maris, yang menghubungkan Mesir ke Turki dan Eropa. Gaza, yang dilalui oleh bangsa Yunani, Romawi, Kekhalifahan Rasyidin, Tentara Salib, Mamluk, Utsmaniyah, Britania Raya, Mesir, dan pasukan Zionis — yang menuliskan sejarahnya sebagai sejarah pendudukan, perang, kekejaman, dan perlawanan.
Gaza cintaku, yang selalu menjadi medan pertempuran, namun selalu berdiri tegak. Gaza, yang mengubur 41.0001 penduduknya, memperingati satu tahun perang pemusnahan yang sedang berlangsung, menghadapi skala kehancuran yang telah melampaui pengeboman Dresden oleh pasukan sekutu selama Perang Dunia Kedua, dan tingkat kematian harian yang lebih tinggi daripada konflik lainnya di abad ke-21.
Hampir setahun setelah genosida itu terjadi, ada beberapa hal yang harusnya sudah jelas. Penghancuran Hamas adalah serangan yang terjadi secara kebetulan. Tujuan utamanya adalah pembantaian massal terhadap anak-anak, yang menargetkan masa depan Gaza. Dari 41.000 kematian yang dilaporkan sejauh ini, sekitar 16.500 di antaranya adalah anak-anak.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/9.jpg
Namun, Gaza bukanlah tak berdaya. Penduduk Gaza melawan, dan keberanian serta ketangguhan mereka menjadi inspirasi bagi seluruh dunia dan generasi yang akan datang.
Sebelum kita membahas situasi saat ini, penting untuk meninjau kembali sejarahnya. Bagi kita yang tumbuh dan hidup di dalam entitas, dalam perut makhluk buas kolonial, rasanya sejarah dimulai pada 7 Oktober. Ini adalah satu-satunya narasi yang didapat oleh orang Israel. Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja dalam ruang hampa-dan hal serupa telah terjadi sebelumnya, dalam perang dekolonisasi dan pembebasan yang serupa. Sedikit latar belakang sejarah akan memungkinkan kita untuk melihat dan memahami peristiwa-peristiwa ini sebagai bagian dari proses jangka panjang.
Kemudian kita dapat berbicara tentang kemungkinan masa depan.
Sejarah Penaklukan, Sejarah Perlawanan
Gaza memiliki sejarah panjang pendudukan dan perlawanan, tetapi pemahaman kita saat ini tentang “Jalur Gaza” sebagai sebuah persegi panjang di peta di bagian selatan Palestina tidak berasal dari bentuk alami wilayah tersebut-ini adalah kontruksi modern yang dibuat secara artifisial. Bangsa Mamluk pada abad ke-13 adalah yang pertama kali menggunakan istilah Quta’a Ghazze (Jalur Gaza), namun mereka merujuk pada seluruh wilayah selatan Palestina, hingga ke Tepi Barat (West Bank) yang sekarang. Jalur Gaza yang kita kenal sekarang diciptakan pada tahun 1948.
Kita tidak dapat memahami apa yang dikenal sebagai Jalur Gaza tanpa membahas serangan Zionis ke Palestina pada tahun 1948, kampanye pembersihan etnis besar-besaran yang dikenal sebagai Nakba. Tanpa konteks ini, mustahil untuk memahami mengapa sebagian besar penduduk Gaza tidak berasal dari Gaza, dan mengapa 80% penduduknya adalah pengungsi. Gaza adalah sebidang tanah buatan yang menjadi kamp pengungsian yang luas setelah kampanye pembersihan etnis besar-besaran yang dilakukan oleh milisi Zionis. Dari hampir 800.000 pengungsi yang terusir dari desa-desa mereka, banyak yang melarikan diri ke negara-negara terdekat seperti Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat. Mereka yang mencoba menyeberang ke Mesir mendapati perbatasan yang tertutup; tidak seperti negara-negara tetangga lainnya, Mesir tidak menerima pengungsi, mirip dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Mesir saat ini. Beginilah awal mula kemunculan Jalur Gaza: sebagai sarana Zionis untuk mengontrol demografi dan populasi.
Banyak dari Kibbutzim dan kota-kota yang diserang pada tanggal 7 Oktober dibangun di atas reruntuhan komunitas yang telah ada di sana sebelumnya. Suku-suku Badui dan penduduk lainnya dari 11 desa di sekitar Gaza diusir ke Jalur Gaza, dan tanah mereka, yang diklasifikasikan sebagai “tanah terlantar”, diambil alih oleh negara dan dijadikan tempat pelatihan militer dan tempat tinggal. Kota-kota dan kibbutzim dibangun di atasnya untuk mencegah upaya untuk kembali. Perintah deportasi, yang didokumentasikan oleh para sejarawan sebagai Perintah Nomor 40, termasuk perintah untuk membakar desa-desa dan tidak meninggalkan sisa-sisa. Kita dapat berasumsi bahwa beberapa pejuang yang menyerang permukiman ini pada 7 Oktober 2023 adalah pengungsi generasi kedua atau ketiga yang baru pertama kali melihat tanah leluhur orang tua atau kakek-nenek mereka di seberang blokade.
Pada akhir pengusiran ini, pada tahun 1950, populasi Gaza meningkat tiga kali lipat akibat kedatangan ratusan ribu pengungsi. Tidak ada infrastruktur untuk menerima begitu banyak pengungsi, dan hingga tahun 1950, tidak ada organisasi bantuan seperti UNRWA yang siap membantu para pengungsi. Meskipun demikian, para sejarawan menceritakan solidaritas yang luar biasa dari penduduk lokal Gaza, yang pada saat krisis memilih untuk berbagi sumber daya yang mereka miliki dengan para pengungsi, untuk membuat mereka tetap hidup. Atas keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) didirikan pada tahun 1950 dan memulai tugas membangun kamp-kamp pengungsi dan sekolah-sekolah serta mengorganisir bantuan untuk sejumlah besar pengungsi yang, hingga saat itu, tidur di sekolah-sekolah setempat, masjid, lapangan, dan rumah-rumah pribadi penduduk setempat yang membuka pintu bagi mereka.
Para pengungsi yang baru tiba di tempat yang kelak menjadi Jalur Gaza menciptakan ancaman besar bagi proyek penjajahan Zionis. Beberapa orang mengklaim bahwa Gaza telah dikepung sejak tahun 2007-tetapi pada kenyataannya, Gaza telah dikepung sejak awal, melewati berbagai tahap pengepungan dari waktu ke waktu. Pendirian Jalur Gaza merupakan keputusan yang diperhitungkan oleh David Ben Gurion, arsitek Nakba dan Perdana Menteri pertama Israel, untuk menyerahkan sebagian wilayah Palestina untuk membangun sebuah kamp pengungsian yang sangat besar bagi orang-orang yang terusir dan melarikan diri ke selatan. Selain untuk mengendalikan demografi wilayah Palestina lainnya, isolasi wilayah tersebut juga memiliki tujuan lain. Jarak geografisnya dari Tepi Barat, dari orang-orang Palestina yang masih tinggal di wilayah yang diduduki pada tahun 1948, dan dari seluruh dunia Arab membantu memecah-belah tatanan masyarakat Palestina. Ini adalah strategi kolonial yang diperhitungkan untuk mengukir tanah tersebut menjadi ghetto-ghetto yang terisolasi — seperti apa yang disebut Bantustan di Afrika Selatan — untuk mendorong perpecahan di antara kelas-kelas yang berbeda dari orang-orang yang diduduki.
Pada tahun 1967, Israel telah menyelesaikan masalah demografis aslinya, tetapi menciptakan masalah geografis yang baru. Nafsu ekspansionis telah meningkat lagi dan Jalur Gaza diduduki bersama dengan Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Israel kemudian mengembalikan Sinai ke Mesir, tetapi wilayah-wilayah lain yang baru diduduki menjadi tantangan yang signifikan bagi negara Yahudi tersebut, karena tidak jelas apakah peristiwa tahun 1948 dapat terulang kembali. Sebuah model pembersihan etnis yang baru pun dibutuhkan. Kondisi telah berubah, sehingga lebih sulit untuk membenarkan pengusiran secara fisik dari tanah mereka; hal terbaik berikutnya adalah mengunci mereka di tempat.
Prioritas utama adalah mencegah dengan segala cara munculnya situasi di mana para pemukim akan berbaur dengan penduduk asli, sehingga Israel membangun dua penjara terbuka: satu di Tepi Barat dan satu lagi yang dikontrol dengan ketat di Jalur Gaza. Tidak seperti wilayah yang diduduki pada tahun 1948, wilayah-wilayah baru ini tidak pernah secara resmi dianeksasi oleh Israel. Penduduknya tidak pernah menerima kewarganegaraan. Mereka tidak diberi hak apa pun; desa-desa mereka dikelilingi oleh pos-pos pemeriksaan, tembok, dan pemukiman; dan pemerintahan militer diberlakukan. Memang, pembersihan etnis dan pemerintahan militer sering kali terjadi bersamaan sepanjang sejarah.
Hal lain yang secara historis selalu terjadi bersamaan dengan pembersihan etnis dan kekuasaan militer adalah perlawanan. Pecahnya intifada pertama dari kamp pengungsi Jabaliya di Gaza pada tahun 1987 memicu gelombang revolusioner di seluruh wilayah tersebut. Hal ini bukan semata-mata karena intensitas pemberontakan, tetapi juga karena hal ini menandakan titik balik di mana orang-orang Palestina mengambil alih masalah dan berjuang untuk pembebasan mereka sendiri.
Dalam banyak hal, Palestinian Liberation Organization (PLO) telah melakukan hal ini sejak tahun 1960-an, menghilangkan peran negara-negara Arab sebagai “pembebas” dan mengalihkan fokus pada gerilyawan Arab revolusioner dan kelompok-kelompok diaspora Palestina, terutama di Yordania dan kemudian di Lebanon. Namun, intifada pertama di Palestina pecah secara spontan. Intifada ini tidak berada di bawah kendali partai atau organisasi militer tertentu; intifada ini dipimpin oleh sebuah jaringan kelompok dan organisasi akar rumput yang bersatu di bawah Unified National Leadership of the Uprising (UNLU), sebuah jaringan koordinasi antara berbagai komite, organisasi, dan pihak-pihak yang terlibat dalam pemberontakan.
Fakta bahwa pemberontakan meletus di Gaza merupakan hal yang signifikan. Tidak mengherankan jika pemberontakan itu dimulai di sebuah kamp pengungsi. Di antara orang-orang Palestina, kamp adalah kelas terendah; kamp juga merupakan tempat yang paling revolusioner, selalu menjadi garis depan perlawanan rakyat dan perjuangan bersenjata. Di sanalah gerilyawan secara tradisional terorganisir dan benteng-benteng perlawanan dibentuk. Karena sentralitasnya dalam perjuangan, tempat ini juga merupakan tempat di mana banyak kekejaman yang paling mengerikan dilakukan dan penindasan yang paling kejam terjadi. Kamp-kamp pengungsi di Lebanon merupakan sarang bagi para revolusioner selama perang saudara Lebanon pada tahun 1970-an dan 80-an; di sanalah kaum fasis Lebanon melakukan pembantaian Sabra dan Shatila pada tahun 1982, di bawah pengawasan ketat IDF.
Hingga saat ini, kamp-kamp pengungsi seperti di Jenin dan Balata di Tepi Barat masih menjadi pusat perlawanan bersenjata, dengan banyak faksi, seperti Sarang Singa dan Brigade Balata, yang bersikeras untuk tetap tidak berafiliasi dengan faksi-faksi utama politik Palestina, di luar kendali Israel dan Otoritas Palestina (PA). Para pemuda di kamp-kamp ini telah mempertahankan rumah mereka dari serangan Israel berkali-kali, dan telah membayar mahal untuk melakukannya. Sejak 7 Oktober 2023, kamp-kamp pengungsi di Gaza telah menjadi target utama pasukan genosida.
Intifada pertama mengartikulasikan kamp pengungsi sebagai kekuatan utama dalam revolusi Palestina. Hal ini juga menunjukkan betapa eksplosifnya situasi tersebut.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/12.jpg
Pecahnya intifada benar-benar mengejutkan Israel dan PLO. Israel tidak pernah membayangkan bahwa rakyat Palestina akan memberontak, dan PLO tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan melakukannya di luar kendali mereka. Yasser Arafat, pemimpin PLO dan partai politik terbesarnya, Fatah, melihat sifat intifada yang tak terkendali dan horizontal sebagai ancaman dan mencari cara untuk membawanya di bawah kendali organisasinya. Hal ini, bersama dengan campur tangan Israel dan AS, membuat Fatah berkompromi dengan posisi mereka dan mengupayakan perundingan damai dengan Israel.
Rangkaian peristiwa ini, yang rinciannya berada di luar cakupan artikel ini, berujung pada penandatanganan Perjanjian Oslo, migrasi PLO ke Palestina, pembentukan Otoritas Palestina, dan pengelolaan pendudukan oleh subkontraktor setia Israel. Di antaranya, Perjanjian Oslo melibatkan penyerahan 80% tanah sebagai imbalan atas janji “solusi dua negara” dan pengakuan Israel. Hal ini juga berarti pembagian Tepi Barat menjadi tiga wilayah: wilayah A, yang terdiri dari 18% wilayah Tepi Barat, yang akan berada di bawah kendali PA; wilayah B, 22% wilayah Tepi Barat, yang akan berada di bawah pemerintahan sipil PA dan kendali keamanan Israel; dan wilayah C, 60% wilayah Tepi Barat, yang berada di bawah kendali “sementara” Israel.
Hal ini juga menyebabkan koordinasi keamanan antara PA yang baru dibentuk dan Israel, yang berarti bahwa orang-orang Palestina ditekan, dipenjara, dipukuli, dan dieksekusi oleh polisi dan sipir penjara Palestina, bukan oleh orang Israel. Pada saat yang sama, PLO “meninggalkan terorisme” dan perlawanan bersenjata, dan mendedikasikan diri pada negosiasi perdamaian dan “solusi tanpa kekerasan.” Bagian terakhir dari perjanjian tersebut, yaitu pembentukan sebuah negara Palestina, tidak pernah diimplementasikan.
Perjanjian tersebut berfungsi sebagai taktik kontra-pemberontakan. Tujuannya adalah untuk menumpas pemberontakan, mendomestikasi atau mengisolasi sayap-sayap revolusioner di dalam PLO, menyingkirkan daerah-daerah bermasalah di Tepi Barat dan Jalur Gaza dari manajemen Israel, dan pada saat yang sama, memaksakan peran sebagai polisi pada PA sembari memberikan harapan palsu pada massa yang sedang bangkit.
Namun tidak semua orang tertipu. Perjanjian Oslo memang berhasil mengakhiri intifada pertama, namun perjanjian ini juga menandakan adanya fragmentasi dalam masyarakat Palestina, termasuk di dalam PLO sendiri, yang memecah belah mereka yang mendukung perjanjian perdamaian dengan mereka yang tetap berkomitmen pada tujuan awal revolusi Palestina-penolakan untuk mengakui negara Israel, pembebasan dari sungai ke laut, dan komitmen terhadap perlawanan bersenjata dan perlawanan rakyat. Kedua kubu ini akan menentukan masyarakat dan perjuangan Palestina di tahun-tahun mendatang.
Di tengah-tengah pemberontakan, beberapa orang dari Ikhwanul Muslimin cabang Gaza, sebuah gerakan sosial keagamaan yang berbasis di Mesir, bertemu di sebuah rumah di kamp pengungsian Shati di Jalur Gaza pada tanggal 9 Desember 1988. Pertemuan ini memiliki implikasi yang signifikan bagi masa depan perlawanan Palestina. Di bawah kepemimpinan spiritual Syekh Ahmed Yassin, seorang pengungsi dari desa Al-Jura, dekat Majdal Askalan (sekarang dikenal sebagai kota Ashkelon di Israel), kelompok tersebut memutuskan untuk memisahkan diri dan memulai sebuah gerakan baru, Gerakan Perlawanan Islam (Harakat al-Muqawama al-Islamiyah) -sebagai singkatan dari HAMAS. Beberapa bulan kemudian, organisasi yang baru lahir ini merilis piagamnya, di mana mereka menyajikan kebangkitan Islam dan jihad sebagai bentuk anti-kolonialisme dan menjabarkan filosofi politik dan agamanya mengenai hubungan antara Islam dan pembebasan Palestina. Meskipun menegaskan bahwa pemerintahan Islam akan memungkinkan “Muslim, Yahudi, dan Kristen untuk hidup bersama dalam damai dan harmonis,” teks selanjutnya penuh dengan antisemitisme dan teori konspirasi, yang mengartikulasikan pemahaman gerakan ini tentang Zionisme, Israel, dan Yudaisme pada saat itu.
Satu dekade sebelumnya, pada tahun 1976, Syekh Ahmed Yassin telah mengajukan izin kepada pihak berwenang Israel untuk mendirikan Asosiasi Islam, yang akan menjadi organisasi payung yang akan memberikan perlindungan hukum dan administratif untuk layanan sosial, agama, pendidikan, dan medis Ikhwanul Muslimin di Jalur Gaza. Israel menyetujui izin tersebut. Inilah salah satu sumber mitos bahwa Israel “mendirikan” Hamas. Faktanya, Israel tidak ada hubungannya dengan “menciptakan” Hamas; sebagai otoritas pendudukan, Israel hanya memberikan izin kepada salah satu institusi Ikhwanul Muslimin sekitar satu dekade sebelum Hamas berdiri. Ada beberapa cara untuk menjelaskan mengapa hal ini terjadi.
Israel memiliki kebijakan untuk tidak mencampuri organisasi-organisasi sosial Islam. Namun, ada baiknya kita juga memahami dinamika sosial pada saat itu. Tahun 1970-an adalah puncak dari revolusi kiri Palestina; organisasi-organisasi sekuler dan Marxis-Leninis adalah kekuatan dominan dalam perlawanan bersenjata. Agama, di sisi lain, dipandang sebagai masalah pribadi, dan Israel memiliki kepentingan untuk memungkinkan pertumbuhan Ikhwanul Muslimin dan gerakan-gerakan Islam lainnya yang dapat berfungsi sebagai kekuatan tandingan untuk melemahkan gerakan nasionalis dan menciptakan perpecahan sosial.
Pendirian Hamas, satu dekade kemudian, sembari membangun infrastruktur amal dan sosial Ikhwan, mendefinisikan kembali Islam sebagai gerakan politik yang terkait dengan perlawanan anti-kolonial, dengan mengambil inspirasi dari banyak partai politik di dunia Arab yang memadukan Islam dan nasionalisme. Mereka mengambil warisan dari tokoh-tokoh legendaris seperti Izz Ad-Din Al-Qassam, seorang pemimpin spiritual dan militan yang aktif di Palestina pada tahun 1920-an dan ‘30-an, yang memelopori pendefinisian Jihad Islam sebagai anti-kolonialisme dan pertempuran gerilya yang terorganisir melawan Prancis, Inggris dan Zionis. Sayap bersenjata Hamas, brigade Al-Qassam, menggunakan namanya.
Hamas aktif dalam pemberontakan sejak awal, bentrok dengan pasukan Israel dan juga dengan faksi-faksi Palestina lainnya yang mereka anggap berkolaborasi. Beberapa faktor memungkinkan Hamas untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin kubu perlawanan, termasuk penerimaan implisit PLO untuk membagi tanah Palestina yang bersejarah menjadi dua negara dan meninggalkan jalur revolusioner, yang menyebabkan gerakan nasional Palestina terpecah menjadi “kubu perlawanan” dan “kubu negosiasi.” Pada saat yang sama, proses geopolitik termasuk runtuhnya Uni Soviet dan kekalahan kaum kiri Palestina di Lebanon mengubah konteksnya. Intifada pertama kali meletus dari kamp-kamp pengungsian di Gaza, wilayah asal dan basis dukungan utama Hamas.
Kita maju ke tahun 2000. Setelah negosiasi gagal dan negara Palestina yang dijanjikan pada tahun 1999 tak kunjung terwujud, intifadah kedua yang lebih pahit dan lebih militer meletus, dipicu oleh kunjungan provokatif Ariel Sharon-pemimpin partai oposisi Likud-ke kompleks Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Sementara intifada pertama bersifat populer dan terdesentralisasi, intifada kedua dimulai dengan cara yang sama tetapi dengan cepat jatuh di bawah kepemimpinan faksi-faksi militer bersenjata, mempopulerkan praktik-praktik seperti bom bunuh diri dan jenis-jenis serangan bersenjata yang mematikan terhadap pasukan dan warga Israel.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/16.jpg
Yasser Arafat, pemimpin PLO dan presiden Otoritas Palestina, terbukti cukup pragmatis. Yang membuat Israel dan para pendukung internasional kecewa, ia menolak untuk mengecam serangan bersenjata, bahkan sering mendorongnya, dan lebih dari sekali, pasukan polisi PA terlibat baku tembak dengan pasukan Israel. Dia tampaknya memandang “proses perdamaian” dan proyek pembangunan negara hanya sebagai alat untuk pembebasan Palestina, yang layak dikejar selama mereka berhasil, tetapi siap untuk meninggalkannya dan mengubah arah sesuai kebutuhan. Sebagai tanggapan, pada tahun 2002, Israel mengepung Mukataa, gedung parlemen Palestina di Ramallah, menjebaknya hingga akhirnya meninggal dua tahun kemudian pada tahun 2004.
Sebagai gantinya, Mahmoud Abbas naik ke tampuk kekuasaan — seorang anggota partai Fatah yang mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Untuk memastikan bahwa pragmatisme Arafat tidak akan terulang kembali, AS dan donor internasional lainnya memprakarsai upaya-upaya untuk “memprofesionalkan” PA. Hal ini menyebabkan pergeseran struktural yang signifikan, menghasilkan reformasi sektor keamanan yang ekstensif dengan dukungan dan pelatihan dari AS, pengetatan koordinasi keamanan dengan Israel, de-politisasi PA dan sebagian besar masyarakat Palestina, dan penunjukan Salam Fayyad sebagai Perdana Menteri-seorang ekonom berpendidikan Amerika yang beraliran neoliberal yang dituduh membersihkan lembaga-lembaga PA dari suara-suara yang terlalu kritis.
Dalam bukunya yang berjudul Polarized and Demobilized: Legacies of Authoritarianism in Palestine, penulis anti-otoritarianisme Palestina, Dana El-Kurd, menjelaskan secara rinci bagaimana metode intervensi internasional yang agresif digunakan untuk mengisolasi PA dari konstituennya, masyarakat Palestina, dan membuatnya tunduk pada para donor internasional-terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mereka memberikan ancaman sanksi dan pemotongan bantuan setiap kali PA menyimpang dari jalur yang telah ditetapkan oleh tuannya, yaitu kekuatan-kekuatan Barat global. Pembentukan PA dan keterlibatan dalam manajemennya sangat penting bagi AS untuk memaksakan prioritasnya di wilayah tersebut. Palestina tidak pernah diizinkan untuk mengelola urusan mereka sendiri dengan cara yang tidak disetujui oleh Amerika Serikat.
Hal ini terlihat setelah kemenangan pemilu Hamas pada tahun 2006. Hamas berhasil memanfaatkan ketidakpuasan akibat kegagalan Perjanjian Oslo, kebijakan-kebijakan PA, dan korupsi serta perasaan frustrasi, dengan memperoleh 76 dari 132 kursi dewan legislatif dan memenangkan hak untuk membentuk pemerintahan. Kubu perlawanan berada di puncak popularitasnya, karena satu tahun sebelumnya, pada tahun 2005, Israel telah memprakarsai Rencana Pelepasan, menggusur semua 21 pemukiman Israel dari Jalur Gaza bersama dengan militer Israel, setelah pemberontakan bersenjata selama lima tahun berturut-turut. Meskipun Israel terus mengendalikan perbatasan, wilayah udara, dan ruang maritim Gaza, hal ini masih dilihat sebagai pencapaian signifikan dari perjuangan bersenjata, yang berhasil memaksa penyerahan wilayah dari Israel sementara “negosiasi” dan “proses perdamaian” tetap macet.
Faktanya, hanya sedikit yang memilih Hamas karena alasan agama atau ideologi. Dengan membangun infrastruktur gerilya selama tahun 1990-an dan intifada kedua, Hamas telah berhasil memposisikan diri mereka sebagai kekuatan utama untuk perjuangan nasional, alternatif paling signifikan bagi Fatah.
Terkejut dengan kemenangan Hamas, Amerika Serikat dan Israel dengan cepat bergerak untuk melakukan kudeta. Mereka memberikan tekanan kuat pada pemerintah baru untuk “memoderasi” pandangannya-misalnya, menerima “proses perdamaian” yang dipimpin AS, “solusi dua negara”, dan tidak mengancam pengaruh Barat di wilayah tersebut. “Kuartet Timur Tengah,” sebuah badan internasional yang terdiri dari AS, Uni Eropa, PBB, dan Rusia, yang ditugaskan untuk mengelola ‘solusi konflik Israel-Palestina’ sesuai dengan ‘proses perdamaian,’ mensyaratkan bantuan untuk pemerintah Hamas dengan tiga tuntutan: mengakui perjanjian yang ditandatangani antara PLO dan Israel, mengecam ‘teror,’ dan secara resmi mengakui Israel. Setelah penolakan Hamas, pemerintah diisolasi, semua bantuan dihentikan, dan sanksi ekonomi diberlakukan.
Perang saudara Gaza pada tahun 2007 menyaksikan pertempuran jalanan bersenjata di Jalur Gaza antara sayap bersenjata Hamas dan Fatah. Pertempuran ini menghasilkan kemenangan bagi Hamas dan pengambilalihan Jalur Gaza. Dalam kekalahan, Mahmoud Abbas mengumumkan pembubaran pemerintahan, memecat Ismail Haniyeh (perdana menteri Hamas), dan mengumumkan keadaan darurat. Sebagai gantinya, Salam Fayyad, seorang politisi Fatah yang lebih “moderat” yang disetujui oleh AS dan Israel, ditunjuk sebagai PM. Abbas juga melarang sayap bersenjata Hamas. Tidak ada pemilihan umum yang diadakan sejak saat itu.
Peristiwa tahun 2007 menciptakan situasi baru dalam pemerintahan Palestina, di mana warga Palestina berada di bawah dua Otoritas Palestina — PA di bawah kekuasaan Fatah di Tepi Barat, dan Hamas di Gaza. Hal ini menguntungkan Israel, semakin memecah belah masyarakat Palestina dan memisahkan Gaza dari Tepi Barat dan wilayah Palestina lainnya. Mulai tahun 2007, Israel mengintensifkan pengepungannya terhadap Gaza sebagai hukuman kolektif karena memilih Hamas, mengisolasinya sepenuhnya dari dunia-pada dasarnya mengubah kamp pengungsi terbesar di dunia menjadi penjara terbuka terbesar di dunia. Jalur ini dipagari sepenuhnya dari semua sisi (termasuk perbatasan Mesir), kontrol yang lebih ketat diberlakukan di ruang maritim dan udara, pergerakan ke luar dan ke dalam sangat dibatasi, dan Israel menentukan barang apa saja yang diizinkan masuk.
Mereka yang menyamakan Hamas dengan ISIS, Al-Qaeda, atau Taliban akan terkejut mendengar bahwa selama 16 tahun memerintah Gaza, Hamas tidak pernah menerapkan hukum Syariah. Pemerintahannya otoriter dan konservatif, sangat represif, terutama terhadap perempuan, kelompok queer, dan para pembangkang politik, namun selalu ada perdebatan dan argumen internal, pemilihan umum, dan badan perwakilan. Struktur organisasi telah dirinci secara mendalam; cukuplah untuk mengatakan bahwa meskipun organisasi ini merupakan organisasi hirarkis, sistem Majlis Al-Shura (Dewan Konsultatif Umum), yang terdiri dari anggota terpilih dari kelompok-kelompok dewan lokal, dengan perwakilan dari Gaza, Tepi Barat, para pemimpin di pengasingan, dan para tahanan di penjara-penjara Israel, memang mewakili model pemerintahan yang demokratis dan dari atas ke bawah.
Hamas tidak hanya tidak menyerupai jihadisme Salafi, mereka adalah musuh bebuyutannya. Sel-sel Salafi yang mencoba melakukan mobilisasi di Gaza ditindas dengan kejam. Hamas tidak berniat mendirikan kekhalifahan pan-Islam; mereka selalu lebih nasionalis daripada religius, membatasi kegiatan mereka pada geografi Palestina. Semua ini bukan untuk membenarkan mereka-kita harus tetap kritis-tetapi saya percaya bahwa kita harus adil dan akurat dalam mengkritik, memahami nuansa dan konteks, untuk menghindari penyebaran omong kosong Islamofobia yang menyamaratakan semua organisasi Islam dalam satu keranjang.
Israel tampaknya tidak mempermasalahkan Hamas mengambil alih kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk memecah belah Palestina lebih jauh, menempatkan sebuah badan pemerintahan yang berkuasa di Gaza untuk mengelolanya, dan memberikan pembenaran bagi serangan Israel. Israel menggambarkan dirinya sebagai memerangi organisasi teror jihad Islam-fundamentalis dalam banyak serangan udara yang terjadi setelahnya.
Sejarawan Palestina Tareq Baconi menjelaskan secara rinci dalam bukunya Hamas Contained: The Rise and Pacification of Palestinian Resistance, bagaimana Israel memulai strategi “memotong rumput” di Gaza. Israel akan mengebom Gaza sesekali, cukup untuk merusak kemampuan militer Hamas dan membantai ratusan atau ribuan orang Palestina-menjaga Gaza tetap terkendali, tetapi membiarkan Hamas tetap berkuasa. Israel melakukan lima operasi militer besar di Gaza hingga tahun 2023 dan beberapa operasi militer yang lebih kecil. Strategi menjaga Gaza dalam keadaan beku — selalu di bawah manajemen krisis, selangkah lagi menuju keruntuhan, terisolasi dari dunia, dan tanpa rencana jangka panjang — akan meledak di hadapan Israel pada 7 Oktober 2023. Namun, saya terlalu berlebihan.
Dari sisi Hamas, ada banyak cara untuk menjelaskan mengapa mereka memutuskan untuk mengambil bagian dalam politik elektoral. Tampaknya Hamas melihat pemerintah seperti bagaimana Arafat melihatnya-sebagai alat perlawanan, salah satu dari sekian banyak alat yang dapat digunakan untuk mengejar pembebasan. Seperti Arafat, mereka menemukan ketegangan dan kontradiksi dalam pendekatan ini. Sebagai kepala kubu perlawanan, para pemimpin pemerintahan revolusioner, Hamas sering kali mendapati dirinya sebagai kekuatan yang menenangkan. Beberapa kali, mereka harus membatasi faksi-faksi militan lain di Gaza, seperti Jihad Islam Palestina, yang mengganggu gencatan senjata mereka. Mereka juga tidak berpartisipasi dalam beberapa bentrokan militer dengan Israel, seperti eskalasi tahun 2022 antara Israel dan PIJ. Beberapa orang sekarang menafsirkan ini sebagai taktik menipu, menipu Israel untuk percaya bahwa mereka tidak tertarik dengan eskalasi untuk mengejutkan mereka pada 7 Oktober, tetapi saya tidak mempercayainya. Hal itu mungkin benar sampai batas tertentu, tetapi tidak dapat disangkal bahwa berkali-kali, Hamas sebenarnya terhalang, dan harus berjalan di atas seutas tali antara mempertahankan sikap militan dan membatasi faksi-faksi bersenjata lainnya untuk menjaga agar eskalasi tidak lepas kendali.
Transisi dari gerakan sosial dan pembentukan gerilya menjadi badan pemerintahan tidak begitu jelas. Al-Qassam, sayap bersenjata, meskipun mendapatkan otonomi yang besar dari badan pemerintahan, masih harus berurusan dengan ketegangan yang meningkat antara perlawanan dan pemerintah. Hal ini bukanlah hal yang baru dalam gerakan Palestina. Dalam bukunya The Palestine Question, Edward Said merinci dilema ini di dalam PLO pada masa revolusionernya, ketika revolusi dan proyek pembangunan negara sering berbenturan. Ketika akhirnya tiba saatnya untuk bergerak maju menuju sebuah negara, mereka benar-benar mengkhianati rakyatnya, menjual revolusi, dan menyerah pada kekuatan pendisiplinan tatanan dunia. Namun Hamas mengambil pendekatan yang berbeda.
Setelah mengambil alih Gaza pada tahun 2007, Hamas memiliki pilihan apakah akan mengulangi jalan PA di Tepi Barat, menjual perlawanan dan menjadi kolaborator dengan penjajah, atau mempertahankan sikap menantang mereka. Mereka memilih yang terakhir. Baik Israel maupun kekuatan internasional tidak dapat sepenuhnya mendomestikasi mereka, dan mereka mempertahankan komitmen mereka terhadap dekolonisasi, perlawanan, dan perjuangan bersenjata — setidaknya secara prinsip, dan terkadang dalam praktiknya. Kita bisa melihat hal ini selama eskalasi tahun 2021, Intifada Persatuan. Ketika Sheikh Jarrah, sebuah lingkungan Palestina di Yerusalem, diancam akan digusur, Yerusalem terbakar dan pemberontakan menyebar ke seluruh Palestina; Hamas mengumumkan ultimatum bagi pasukan Israel untuk mundur dari Sheikh Jarrah dan kompleks Masjid Al-Aqsa, yang diikuti dengan rentetan roket yang ditembakkan ke kota-kota Israel.
Ini adalah salah satu dari sedikit contoh di mana Hamas keluar dari kandang yang dibangun untuk mereka. Serangan roket terhadap Israel tidak digunakan untuk meringankan pengepungan, bernegosiasi tentang kondisi di Gaza, menanggapi pembunuhan salah satu militannya, atau menekan masalah lain dalam lingkaran terdekat mereka sebagai badan pemerintahan atau militer; melainkan, ini adalah tindakan solidaritas dengan lingkungan di Yerusalem dan sebagai tanggapan atas serangan Israel di kompleks Al-Aqsa. Hal ini menempatkan mereka sekali lagi sebagai front terdepan dalam perlawanan, yang mewakili partisipasi Gaza dalam pemberontakan persatuan dan bertindak atas isu-isu yang menjadi perhatian seluruh warga Palestina.
Kontradiksi antara perjuangan bersenjata dan perjuangan rakyat merupakan topik perdebatan yang terus menerus terjadi di kalangan warga Palestina. Beberapa kritikus menuduh Hamas mengesampingkan perjuangan rakyat yang meletus selama pemberontakan dengan mengalihkan fokus pada perjuangan bersenjata. Kenyataannya lebih rumit. Hamas lebih dari sekadar sayap bersenjata; Hamas adalah sebuah gerakan yang bereksperimen dengan berbagai metode perjuangan yang berbeda, mengevaluasi setiap strategi berdasarkan hasilnya. Hamas memiliki banyak pengalaman dengan perlawanan rakyat-misalnya, selama Pawai Akbar Kepulangan 2018–2019, di mana penduduk Gaza berbaris tanpa senjata menuju pagar pembatas, yang terinspirasi sebagian dari gerakan hak-hak sipil di AS, menuntut diakhirinya pengepungan dan diizinkan kembali ke rumah mereka di sisi lain. Ini bukanlah inisiatif Hamas-ini diorganisir oleh para aktivis akar rumput dan warga sipil di Gaza-tetapi Hamas, sebagai badan pemerintahan, harus mengizinkan pawai tersebut, ikut serta di dalamnya, dan terlibat dalam pendanaan. Tanggapan Israel adalah membantai 223 pengunjuk rasa, termasuk 46 anak-anak, dengan tembakan penembak jitu. Dunia tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, peristiwa tahun 2021 membuktikan bahwa Palestina hanya menjadi isu internasional ketika warga Israel membayar harganya.
Mengingat hal ini, saya ingin mengusulkan satu cara untuk melihat 7 Oktober. Tak seorang pun di luar Hamas yang tahu persis apa yang membuat mereka memutuskan untuk melakukan serangan tersebut. Ada banyak teori, dan saya akan menambahkan teori saya sendiri. Hamas mungkin telah mencapai kesimpulan bahwa “pemerintahan perlawanan” tidak lagi berfungsi, bahwa hal itu sebenarnya adalah sebuah hambatan, dan memutuskan untuk kembali ke asalnya sebagai formasi gerilya dan gerakan sosial. Mereka mungkin telah mencoba melakukan hal ini berkali-kali sebelumnya, seperti yang bisa kita lihat dari berbagai upaya rekonsiliasi dengan Fatah; mereka menunjukkan kesediaan untuk melepaskan kendali atas Gaza dan bekerja menuju pemilihan umum berkali-kali. Buku Hamas karya Baconi berisi rincian dari berbagai upaya tersebut dan bagaimana upaya-upaya itu digagalkan oleh Israel dan AS. Mungkin mereka berpikir bahwa inilah saatnya untuk melakukan sesuatu yang ekstrim untuk memaksa mereka kembali ke jalur perlawanan, semacam bunuh diri pemerintah. Mereka telah menegaskan sejak Oktober lalu bahwa mereka bersedia untuk berhenti memerintah Gaza, namun tidak akan melucuti senjata-sebuah indikasi lain bahwa mereka sedang berusaha untuk kembali ke asal mereka.
Agar revolusi bisa hidup, pemerintah harus mati.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/10.jpg
Pemberontakan Ghetto
Kemudian terjadi tanggal 7 Oktober.
Setahun telah berlalu dan masih belum diketahui secara pasti apa yang terjadi pada hari itu. Inilah yang kita ketahui dengan pasti sejauh ini.
Pada dini hari tanggal 7 Oktober 2023, Hamas, bersama faksi-faksi militan lainnya di Gaza, meluncurkan Tufun Al-Aqsa, operasi banjir Al-Aqsa, sebuah serangan mendadak terkoordinasi terhadap Israel. Ribuan roket ditembakkan ke Israel dan ribuan militan menerobos pengepungan, merusak pagar, menduduki pangkalan militer, dan menyusup ke permukiman Israel.
Serangan tersebut membuat Israel lengah; butuh waktu berjam-jam bagi tentara untuk merespons. Menurut para saksi mata, ada tiga gelombang utama yang menerobos pagar Gaza, yang terbuka selama berjam-jam. Gelombang pertama yang menerobos pagar melibatkan Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata utama lainnya di Gaza, termasuk PIJ, Front Popular untuk Pembebasan Palestina, dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina. Gelombang kedua terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang lebih kecil dan kurang terorganisir, termasuk mungkin beberapa jihadis Salafi. Gelombang ketiga terdiri dari warga sipil tak bersenjata, jurnalis, blogger, dan orang-orang yang lewat.
Tidak dapat disangkal bahwa beberapa peserta melakukan kekejaman terhadap warga Israel. Banyak bukti, dalam beberapa kasus dari kamera GoPro para pejuang Palestina sendiri, menunjukkan bahwa mereka menembaki tanpa pandang bulu ke pemukiman Israel, membunuh warga sipil, dan menyandera warga sipil di Jalur Gaza. Pembantaian juga terjadi di festival musik Nova (yang sekarang terkenal).
Pada saat yang sama, rentetan kebohongan, kekejaman yang dibuat-buat, dan propaganda beredar. Tim penyelamat Israel, pejabat militer, Sara Netanyahu, dan Joe Biden menyebarkan cerita bohong tentang pemenggalan kepala, pembunuhan anak-anak, kekerasan seksual, dan hal-hal lain yang tidak pernah terjadi. Hal ini memperkeruh situasi dan menjadi pembenaran atas genosida tersebut.
Beberapa warga Israel dilaporkan tewas oleh tembakan Israel. Instruksi Hannibal adalah kebijakan militer Israel yang bertujuan untuk mencegah penculikan dengan cara apa pun, termasuk menyerang warga sipil dan pasukan Israel. Alasannya adalah bahwa harga politik untuk membebaskan tentara atau warga sipil Israel yang diculik melalui perjanjian terlalu tinggi — karena hal itu telah berulang kali menghasilkan pembebasan banyak tahanan Palestina sebagai gantinya — jadi lebih baik menyerang bahkan dengan risiko melukai mereka yang diculik. Pada tanggal 7 Oktober, pasukan Israel dengan sengaja menembaki pangkalan militer, pemukiman Israel, dan mobil-mobil yang diduga membawa sandera Israel kembali ke Gaza.
Pada akhirnya, sekitar 1140 warga Israel terbunuh, 3400 orang terluka, dan 251 orang ditawan. Awalnya, media korporat melaporkan perkiraan yang jauh lebih tinggi.
Bahkan setahun kemudian, warga Israel tampaknya tidak dapat memahami serangan ini. Bagi mereka, serangan itu datang entah dari mana. Mereka menganggapnya sebagai “Holocaust kedua” (narasi yang sangat populer di Israel), sebuah serangan yang tidak dapat dijelaskan dan tidak rasional oleh pasukan jihadis biadab yang ingin membunuh orang Yahudi tanpa alasan.
Namun, adalah sebuah kesalahan besar jika menganggap 7 Oktober sebagai peristiwa yang terisolasi dan terjadi di ruang hampa. Hampir semua orang yang berusia dua puluh tahun atau lebih muda di Gaza telah menghabiskan seluruh hidup mereka dalam realitas pengepungan, pengeboman, dan pembantaian, dibesarkan oleh kerabat yang masih mengingat peristiwa 1948 dan bagaimana mereka terusir dari tempat yang sekarang disebut Kibbutz. Dari Revolusi Haiti dan pemberontakan budak Nat Turner hingga pembantaian Oran di Aljazair, setiap perang pembebasan dekolonial, setiap pemberontakan budak, setiap pemberontakan ghetto selalu melibatkan kekejaman, yang sering kali menyasar warga sipil. Kita tidak bisa menuntut kemurnian dari orang-orang Palestina yang tidak kita tuntut dari perjuangan historis pembebasan lainnya. Kita dapat berduka atas kekejaman yang terjadi, tetapi kita tidak dapat mengutuk pemberontakan ghetto, kita tidak dapat mengutuk pemberontakan para budak. Kita harus selalu memahami segala sesuatu dalam konteksnya dengan analisis hubungan kekuasaan.
Serangan itu terjadi pada 7 Oktober 2023, diikuti oleh genosida yang telah berlangsung selama setahun sekarang. Hingga akhir September 2024, lebih dari 41.000 orang di Gaza dilaporkan tewas, meskipun jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Lebih dari 95.000 orang terluka. Sekitar 1,9 juta orang mengungsi secara internal, beberapa di antaranya telah mengungsi lebih dari sepuluh kali. Lebih dari separuh (60% menurut Al-Jazeera) bangunan tempat tinggal di Gaza, 80% fasilitas komersial, dan 85% bangunan sekolah telah rusak atau hancur; 17 dari 36 rumah sakit hanya berfungsi sebagian; 65% lahan pertanian rusak.
Perang untuk memusnahkan saat ini berbeda dengan putaran eskalasi dan pembantaian sebelumnya-dan bukan hanya dalam hal skala. Israel tidak lagi menjalankan kebijakan “memotong rumput”. Gaza, penjara terbuka itu, meledak. Akibatnya, seluruh penduduk harus membayar. Memang, pihak berwenang Israel telah menjelaskan sejak awal bahwa niat mereka adalah genosida.
Selama bertahun-tahun, ketika Israel mengira bahwa mereka telah merusak kapasitas militernya, Hamas menggali jaringan terowongan yang rumit di bawah Gaza, mempersenjatai diri, dan mempersiapkan diri untuk pertempuran terakhir. Gaza tidak cocok untuk perang gerilya dalam pengertian tradisional, karena sebagian besar wilayahnya datar tanpa gunung atau hutan yang bisa digunakan para pejuang untuk melarikan diri. Gang-gang sempit di kamp-kamp pengungsi dapat berguna dalam beberapa tahap pertempuran, dan memang demikian, namun Israel menegaskan bahwa mereka akan menjadi tempat pertama yang menjadi sasaran, seperti di Lebanon dan Tepi Barat. Jaringan terowongan, yang membentang di seluruh jalur sampai ke Semenanjung Sinai di sisi lain perbatasan Mesir, sangat penting untuk memungkinkan para pejuang menyerang dan melarikan diri, muncul kembali di tempat lain, bersembunyi, beristirahat, menyimpan senjata, dan menyembunyikan tawanan. Selama tahun-tahun pengepungan, terowongan-terowongan tersebut juga sangat penting bagi perekonomian Gaza: selain senjata, terowongan-terowongan tersebut juga digunakan untuk menerobos pengepungan Israel untuk menyelundupkan kebutuhan pokok.
Apakah Hamas tidak menyadari bahwa reaksi Israel akan begitu mematikan? Tidak mungkin untuk mengatakan dengan pasti apa perhitungan mereka. Kita bisa berasumsi bahwa mereka tahu bahwa serangan itu akan mengakibatkan pertumpahan darah-mungkin tidak dalam skala seperti ini, tapi mereka pasti tahu bahwa Israel akan merespons dengan keras. Menurut persamaan yang dibuat Israel pada tahun 2014, misalnya, setelah militan Palestina menculik dan membunuh tiga pemukim Israel di Tepi Barat, Israel membunuh sekitar 2.200 orang di Gaza, pembantaian terburuk di Gaza hingga tahun 2023. Jadi, apa harga yang pantas untuk 1140 korban Israel?
Haruskah kita menyimpulkan bahwa Hamas tidak peduli dengan nyawa warga Gaza? Jawabannya lebih rumit.
Kita bisa mulai dengan mengatakan bahwa menyalahkan perlawanan atas kekerasan yang dilakukan penjajah sama masuk akalnya dengan menyalahkan pejuang Kurdi atas pembantaian di Dersim atau pendudukan Afrin, atau menyalahkan para pemberontak ghetto Warsawa atas penindasan yang dilakukan Nazi. Dorongan utama dari koloni pemukim (settler colonialism) adalah untuk mendapatkan lebih banyak tanah sambil mengurangi jumlah penduduk asli. Selama bertahun-tahun kolonialisme Zionis, Zionis selalu menampilkan kekejaman mereka sebagai tanggapan atas serangan sebelumnya-tetapi tujuan sebenarnya adalah pembersihan etnis. Jalur Gaza sendiri dibangun sebagai solusi untuk pembersihan etnis, sebuah ghetto terkunci untuk mengontrol demografi, dan Israel telah membunuh orang-orang di sana dan di Palestina secara keseluruhan sejak saat itu. Mengharapkan orang-orang untuk tidak melawan, menjadi korban yang tak berdaya, tidak pernah realistis.
Menurut Hamas sendiri, dalam dokumen Our Narrative… Operation Al-Aqsa Flood, yang diterbitkan setelah 7 Oktober, mereka bertanya-apa yang dunia harapkan dari warga Palestina? Setelah 75 tahun menderita di bawah pendudukan yang brutal, setelah semua inisiatif untuk pembebasan gagal, hasil bencana dari apa yang disebut “proses perdamaian” yang dijanjikan Oslo, dan kebungkaman dari apa yang disebut masyarakat internasional, apakah mereka benar-benar harus mati dengan tenang? Mereka mencatat bahwa perjuangan Palestina untuk membebaskan diri dari penjajahan dan kolonialisme tidak dimulai pada tanggal 7 Oktober, tetapi 105 tahun yang lalu, melawan 30 tahun pemerintahan kolonial Inggris dan 75 tahun pendudukan Zionis. Sepuluh ribu warga Palestina terbunuh antara tahun 2000 dan 2023; semua kematian itu terjadi dengan dukungan Amerika, dan setiap jenis protes, termasuk inisiatif damai seperti pawai kepulangan pada tahun 2018, telah ditindas secara brutal. Mengingat agresi yang mematikan dengan impunitas penuh, dokumen itu bertanya,
“Apa yang diharapkan dari rakyat Palestina setelah semua itu? Untuk terus menunggu dan terus mengandalkan PBB yang tak berdaya! Atau mengambil inisiatif untuk membela rakyat Palestina, tanah, hak, dan kesucian mereka; karena mereka tahu bahwa tindakan mempertahankan diri adalah hak yang tertuang dalam hukum, norma, dan konvensi internasional.”
Narasi serupa diungkapkan oleh Basem Naim, anggota senior biro politik Hamas, yang berbicara pada tanggal 7 Oktober.
Jika kita harus memilih, mengapa memilih untuk menjadi korban yang baik, korban yang damai? Jika kita harus mati, kita harus mati secara terhormat. Berdiri, berjuang, melawan, dan berdiri sebagai martir yang bermartabat.”
Kita juga bisa merujuk kepada tokoh revolusioner dan martir Palestina, Bassel Al-Araj. Menulis pada tahun 2014, tepat sebelum invasi darat militer Israel ke Gaza pada tanggal 17 Juli, ia membuat beberapa poin2:
Perlawanan Palestina terdiri dari formasi-formasi gerilya yang strateginya mengikuti logika perang gerilya atau perang hibrida, yang telah dikuasai oleh bangsa Arab dan Muslim melalui pengalaman kami di Afghanistan, Irak, Libanon, dan Gaza. Perang tidak pernah didasarkan pada logika perang konvensional dan pertahanan titik-titik dan perbatasan yang tetap; sebaliknya, Anda menarik musuh ke dalam penyergapan. Anda tidak terpaku pada posisi tetap untuk mempertahankannya; sebaliknya, Anda melakukan manuver, pergerakan, penarikan, dan serangan dari bagian samping dan belakang. Jadi, jangan pernah membandingkannya dengan perang konvensional.
Musuh akan menyebarkan foto dan video invasi mereka ke Gaza, pendudukan bangunan tempat tinggal, atau kehadiran mereka di tempat umum dan tempat-tempat terkenal. Ini adalah bagian dari perang psikologis dalam perang gerilya; Anda membiarkan musuh bergerak sesuai keinginan mereka sehingga mereka jatuh ke dalam perangkap Anda dan Anda menyerang mereka. Anda menentukan lokasi dan waktu pertempuran. Jadi, Anda mungkin melihat foto-foto dari Al-Katiba Square, Al-Saraya, Al-Rimal, atau Jalan Omar Al-Mukhtar, tetapi jangan biarkan hal ini melemahkan tekad Anda. Pertempuran dinilai dari hasil keseluruhannya, dan ini hanyalah sebuah pertunjukan.
Jangan pernah menyebarkan propaganda penjajah, dan jangan ikut menanamkan rasa kekalahan. Hal ini harus difokuskan, karena sebentar lagi, kita akan mulai berbicara tentang invasi besar-besaran di Beit Lahia dan Al-Nusseirat, misalnya. Jangan pernah menyebarkan kepanikan; dukunglah perlawanan dan jangan menyebarkan berita apa pun yang disiarkan oleh penjajah (lupakan etika dan ketidakberpihakan jurnalisme; sebagaimana jurnalis zionis adalah pejuang, demikian juga Anda).
Musuh mungkin menyiarkan gambar-gambar tawanan, kemungkinan besar warga sipil, tetapi tujuannya adalah untuk menunjukkan keruntuhan perlawanan dengan cepat. Jangan percaya pada mereka.
Musuh akan melakukan operasi taktis dan kualitatif untuk membunuh beberapa simbol [perlawanan], dan semua ini adalah bagian dari perang psikologis. Mereka yang telah mati dan mereka yang akan mati tidak akan pernah mempengaruhi sistem dan kohesi perlawanan karena struktur dan formasi perlawanan tidak terpusat tetapi horisontal dan tersebar luas. Tujuan mereka adalah untuk mempengaruhi basis dukungan perlawanan dan keluarga para pejuang perlawanan, karena hanya merekalah yang dapat mempengaruhi para anggota perlawanan.
Kerugian manusia dan materi yang kami alami akan jauh lebih besar daripada musuh, yang merupakan hal yang wajar dalam perang gerilya yang mengandalkan tekad, unsur manusia, dan tingkat kesabaran dan daya tahan. Kita jauh lebih mampu menanggung biayanya, jadi tidak perlu membandingkan atau khawatir dengan besarnya angka.
Perang saat ini bukan lagi sekadar perang dan bentrokan antar tentara, melainkan perjuangan antar masyarakat. Marilah kita menjadi seperti sebuah struktur yang kokoh dan memainkan permainan gigit jari dengan musuh, masyarakat kita melawan masyarakat mereka.
Akhirnya, setiap orang Palestina (dalam arti luas, yang berarti siapa pun yang melihat Palestina sebagai bagian dari perjuangan mereka, terlepas dari identitas sekunder mereka), setiap orang Palestina berada di garis depan pertempuran untuk Palestina, jadi berhati-hatilah untuk tidak gagal dalam tugas Anda.
Satu catatan terakhir sebelum kita melangkah lebih jauh. Dalam buku Blessed is the Flame, sang penulis, Serafinski, mengulas pemberontakan ghetto dan perlawanan kamp konsentrasi di bawah pendudukan Nazi dari sudut pandang anarkis-nihilis. Buku ini menunjukkan bahwa terlepas dari kondisi yang represif dan melumpuhkan di kamp konsentrasi, tindakan perlawanan seperti sabotase, gotong royong, dan pemberontakan masih terjadi, sering kali meskipun dengan konsekuensi yang parah dan peluang keberhasilan yang sangat kecil. Motivasi di balik banyak tindakan ini adalah keinginan untuk memberontak sebagai tujuan itu sendiri. Serafinski membangun gagasan bahwa jouissance, atau kenikmatan-kreativitas dan kehidupan dari tindakan atau pemberontakan itu sendiri-adalah sesuatu yang berharga, terlepas dari konsekuensinya. Contoh-contoh menunjukkan bahwa dalam situasi yang paling sulit, orang-orang memilih untuk tidak secara pasif dituntun menuju pembantaian, tetapi terlibat dalam tindakan perlawanan yang nekat dan liar, melarikan diri dari logika, moralitas, dan bidang-bidang wacana yang sudah mapan. Terhadap kondisi yang tidak mungkin, mereka memilih tindakan yang tidak mungkin. Hal ini mengingatkan kita pada pemahaman Bassel tentang romansa sebagai alasan terjadinya perang.
Dan orang-orang sering melakukan apa yang berada dalam jangkauan kemampuan mereka, bukan apa yang paling “benar”. Ini adalah sesuatu yang harus kita terima.
“Yang paling penting adalah kekuatan yang kita rasakan setiap kali kita tidak menundukkan kepala, setiap kali kita menghancurkan berhala-berhala palsu peradaban, setiap kali mata kita bertemu dengan kawan-kawan kita di jalan yang tidak sah, setiap kali tangan kita membakar simbol-simbol Kekuasaan. Pada saat-saat itu kita tidak bertanya pada diri sendiri: ‘Apakah kita akan menang? Apakah kita akan kalah? Pada saat-saat itu, kami hanya berjuang.”
-“Percakapan Antara Anarkis,” Conspiracy of the Cells of Fire
“Bahkan pengamatan dan kritik Anda terhadap paradoks perang 2014 adalah bahwa perang itu membuat sebagian besar masyarakat menjadi penonton pasif yang menunggu kematian. Anda keberatan dengan kematian yang tidak dikelilingi oleh narasi romantis. Anda tahu bahwa keseimbangan kekuatan antar negara ditentukan oleh ‘energi potensial’ dan ‘energi kinetik’ (energi penghancur). Dan Anda tahu bahwa energi potensial-dan fungsinya dalam perang-adalah untuk berubah menjadi kekuatan yang menghancurkan. Saya percaya bahwa kemungkinan untuk menciptakan narasi romantis seputar kemartiran dan kepahlawanan adalah salah satu elemen terpenting dari energi potensial, di mana kita mengungguli musuh kita.”
-“Why We Go to War,” Bassel Al-Araj
Pertempuran sejak saat itu, dan Front Lainnya
Orang-orang di Gaza tidak pernah menjadi korban yang tak berdaya sejak 7 Oktober lalu. Ya, Gaza memang hancur akibat genosida, tetapi para pejuang terus melawan, meskipun menghadapi kesulitan yang luar biasa. Hingga pertengahan September 2024, Israel telah melaporkan 789 tentara dan pasukan keamanannya tewas. Laporan lain menunjukkan setidaknya 10.000 orang tewas atau terluka. Sekitar 1.000 tentara Israel masuk ke Departemen Rehabilitasi Kementerian Pertahanan setiap bulannya, menurut Kementerian Pertahanan Israel. Rekaman luar biasa yang diedarkan secara online oleh pasukan gerilyawan menunjukkan mereka keluar dari terowongan, meledakkan tank, menembaki dan menyergap tentara Israel, serta meledakkan gedung-gedung yang ada tentara di dalamnya. Militer Israel mengakui bahwa banyak tank mereka yang rusak selama pertempuran.
Di kota Khan Yunis, misalnya, yang telah berulang kali diserbu Israel, sejauh ini, setiap upaya untuk mengalahkan pasukan gerilyawan telah gagal. Di banyak kota, kamp-kamp pengungsi dan kubu perlawanan di mana IDF mengumumkan bahwa mereka “membongkar brigade lokal,” pasukan gerilyawan segera muncul kembali dan berkumpul kembali setelah penarikan mereka.
Di Tepi Barat, IDF telah melakukan beberapa serangan ke kota-kota dan kamp-kamp pengungsi, menyebabkan kerusakan massal pada infrastrukturnya, menewaskan sedikitnya 719 orang dan melukai lebih dari 5.700 orang per September 2024. Perlawanan bersenjata, meskipun tidak sehebat di Gaza, telah merenggut nyawa 12 tentara Israel dan menyebabkan 27 orang terluka. Beberapa militan di Tepi Barat juga telah melakukan aksi bersenjata terhadap pemukim Israel di Tepi Barat dan juga di dalam perbatasan Israel.
Kekerasan pemukim (settler violence) terhadap warga Palestina meningkat secara signifikan sejak bulan Oktober, dengan lebih dari 800 serangan dan pogrom, menewaskan sedikitnya 31 warga Palestina, melukai lebih dari 500 orang, dan merusak sekitar 80 rumah, hampir 12.000 pohon, dan 450 kendaraan, menurut PBB. Sekitar 850 warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat kekerasan pemukim dan militer. Para pemukim juga memblokir bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza dari Yordania, Mesir, dan pelabuhan-pelabuhan Israel.
Di dalam wilayah yang diduduki, yang juga dikenal sebagai Palestina yang diduduki pada tahun 1948, atau “Israel”, masyarakat Palestina menghadapi kediktatoran fasis. Memprotes genosida tidak mungkin dilakukan selama beberapa bulan pertama, karena polisi dengan kejam menindas demonstrasi, menyerang para aktivis, menggerebek rumah-rumah mereka, dan memenjarakan orang-orang, kadang-kadang selama berbulan-bulan, karena meneriakkan slogan-slogan atau memegang papan nama. Pada bulan Oktober dan November 2023 saja, Adallah, sebuah pusat hukum bagi warga Palestina di Israel, mendokumentasikan 251 penangkapan, interogasi, dan “panggilan peringatan” sebagai tanggapan atas tindakan seperti berpartisipasi dalam demonstrasi, memposting di media sosial, dan mengekspresikan pendapat di universitas dan tempat kerja. Banyak mahasiswa Palestina dikeluarkan dari universitas; banyak pekerja dipecat. Di beberapa tempat, penindasan ini mereda seiring berjalannya waktu-tetapi di tempat lain, terutama di kota-kota “campuran” seperti Haifa, memprotes genosida masih mustahil dilakukan.
Aksi protes untuk Gaza di bawah represi polisi yang intens, Haifa, 30 Mei.
Sejauh ini, meskipun kelompok-kelompok bersenjata yang terisolasi di Tepi Barat mempertahankan komunitas mereka dari serangan Israel dan melakukan serangan bersenjata terhadap permukiman dan pos pemeriksaan terdekat, belum lagi beberapa upaya di daerah pedalaman untuk mengorganisir protes, tidak ada pemberontakan rakyat, seperti Intifada Persatuan yang meletus pada tahun 2021 selama serangan besar sebelumnya di Gaza. Penindasan Israel telah terbukti efektif dalam mendorong banyak orang untuk bungkam dan melumpuhkan gerakan jalanan. Hal ini mungkin akan berubah, karena represi juga dapat menyebabkan eskalasi, tetapi untuk saat ini, kita tidak dapat mengandalkan pemberontakan di dalam Palestina untuk menghentikan genosida.
Situasi di dalam penjara telah menjadi tidak manusiawi. “Tahanan keamanan” Palestina menghadapi penyiksaan, kekerasan, dan pelecehan seksual dari para penjaga Israel. Kamp penyiksaan Sde Teiman menjadi terkenal di seluruh dunia setelah bocoran dari para pengungkap fakta dan kesaksian dari para tahanan yang telah dibebaskan mengungkap rutinitas pelecehan, pemukulan, penyiksaan fisik dan psikis, kekerasan seksual dan pemerkosaan, penelantaran medis, serta pemotongan bagian tubuh. Kondisi di penjara “keamanan” di seluruh negeri telah memburuk, dengan Menteri Keamanan Nasional yang beraliran sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, memberikan perintah untuk mengurangi hak-hak para tahanan seminimal mungkin. Mereka dikurung dalam sel yang gelap dan penuh sesak, diborgol dengan tangan dan kaki satu sama lain, tidur di tempat tidur tanpa kasur atau di lantai, dengan makanan seadanya. Ribuan tahanan baru telah ditangkap selama setahun terakhir; di bawah kepemimpinan Ben-Gvir yang sadis, penindasan, penahanan, dan kamp-kamp konsentrasi serta penyiksaan terus meluas. Sekitar 60 tahanan Palestina telah meninggal di penjara Israel sejak Oktober 2023.
Front mereka yang berada di pengasingan telah aktif. Para pengungsi Palestina telah berhasil memobilisasi demonstrasi massa di banyak tempat. Di negara-negara terdekat, telah terjadi gerakan turun ke jalan yang signifikan yang diikuti oleh ribuan orang untuk mendukung Palestina. Di Amman, Yordania, warga beberapa kali bentrok dengan polisi dan aparat keamanan di luar kedutaan besar Israel, menuntut agar negara mereka memutuskan hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat. Mobilisasi massa juga terjadi di Lebanon, Mesir, Tunisia, Maroko, Bahrain, dan di seluruh kamp-kamp pengungsian dan kota-kota di Timur Tengah, Afrika Utara, serta dunia Arab dan Muslim, sering kali meskipun ada represi dari pemerintah reaksioner mereka, yang khawatir bahwa mobilisasi massa akan berbalik melawan mereka.
Ribuan orang di jalanan Amman, Yordania, merayakan perlawanan dan solidaritas.
Di “Barat”, gerakan solidaritas bermunculan di kota-kota di Eropa dan Amerika Utara. Banyak yang telah dikatakan tentang mobilisasi yang menginspirasi di kampus-kampus dan berbagai blokade, pawai, dan tindakan sabotase. Mereka yang berada di pusat kekuasaan memiliki tanggung jawab khusus untuk mengambil tindakan seperti ini. Kita hanya bisa berharap gerakan-gerakan seperti ini akan terus berkembang.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/17.jpg
Jerman, negara dengan komunitas diaspora Palestina terbesar di Eropa (sekitar 300.000 orang), menjadi medan pertempuran yang unik. Negara Jerman telah memusuhi pembebasan Palestina selama bertahun-tahun, menindak pawai-pawai, menyensor pidato dan slogan-slogan, melarang acara-acara solidaritas, dan, dalam beberapa kasus, melarang simbol-simbol nasional seperti Keffiyeh dan bendera Palestina. Di Jerman, rasisme anti-Palestina dan dukungan terhadap genosida didukung oleh negara, polisi dan lembaga-lembaga represif, kelompok sayap kanan, serta elemen-elemen Islamofobia, anti-Arab, kolonial, dan pro-apartheid yang tergabung dalam kelompok “anti-fasis”.
Meskipun demikian, warga Palestina dan para pendukungnya masih tetap melawan. Jerman sepenuhnya terlibat dalam genosida, mendukungnya baik secara materi maupun retorika, menyediakan senjata untuk Israel dan bahkan mendukung Israel dalam kasus genosida di Mahkamah Internasional. Kita hanya bisa berharap gerakan di sana akan terus mendobrak tembok-tembok ketakutan dan menemukan cara untuk meningkat.
Adapun yang disebut Axis of Resistance-beberapa kelompok militan bersenjata di Timur Tengah mendeklarasikan front solidaritas dengan Gaza. Di Irak, Suriah, dan Yordania, pangkalan-pangkalan Amerika menjadi sasaran. Selama berbulan-bulan, Iran, meskipun berusaha memonopoli “perlawanan”, terutama bertindak sebagai kekuatan yang menenangkan, berulang kali memerintahkan kelompok-kelompok tersebut untuk mengurangi serangan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan Israel dan Amerika. Iran menyerang Israel dengan serangan rudal besar pada April 2024, tetapi ini hanya bersifat simbolis, karena telah diumumkan sebelumnya dan tidak menyebabkan kerusakan yang signifikan.
Tak lama sebelum publikasi artikel ini, sebagai tanggapan atas pembunuhan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, Iran memulai serangan langsung kedua terhadap Israel. Pada tanggal 2 Oktober 2024, 180 roket jatuh di Israel. Sekali lagi, sebagian besar rudal berhasil dicegat oleh Israel, AS, dan rezim sekutu seperti Yordania. Beberapa kerusakan ringan terjadi pada pangkalan militer dan fasilitas Mossad. Pada saat ini, satu-satunya korban yang diketahui dari serangan ini adalah seorang warga Palestina dari Gaza yang tinggal di kota Tepi Barat, Jericho.
Gerakan Houthi, sebuah organisasi Islam Syiah yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman sebagai bagian dari perang saudara Yaman yang sedang berlangsung, yang oleh beberapa pihak digambarkan sebagai “proksi” Iran dan bagian dari “Axis” meskipun cukup independen, telah menembakkan rudal-rudal ke arah Israel dan menyerang kapal-kapal komersil di Laut Merah, dengan menganggap kapal yang terkait dengan Israel sebagai target. Serangan-serangan ini dilaporkan telah menyebabkan dampak besar pada ekonomi global dan kerusakan yang signifikan pada perdagangan internasional, merusak kapal-kapal komersial dan memaksa banyak kapal untuk mengubah rute di sekitar Afrika Selatan, sehingga memperpanjang perjalanan mereka.
Di Lebanon selatan, Hizbullah terlibat dalam bentrokan roket dan UAV setiap hari dengan Israel, meskipun pada awalnya, ini sebagian besar terbatas pada pangkalan militer yang dekat dengan perbatasan dan beberapa komunitas Israel utara. Sebagai tanggapan, Israel mengebom desa-desa dan komunitas di Lebanon selatan dan menyerang Dahieh, pinggiran kota Beirut di mana beberapa anggota Hizbullah tinggal, menewaskan warga sipil. Situasi telah meningkat; pada awal Oktober 2024, Israel telah menginvasi Lebanon selatan, menyusul banyak eskalasi.3
Dalam kabut perang, tatanan dunia terus bergerak maju. AS melihat genosida dan eskalasi di Timur Tengah sebagai peluang untuk meningkatkan kekuatannya di wilayah tersebut. Israel Channel 12 melaporkan pada Oktober 2023 bahwa “dua ratus empat puluh empat pesawat angkut AS dan 20 kapal telah mengirimkan lebih dari 10.000 ton persenjataan dan peralatan militer ke Israel sejak dimulainya perang.” Pada bulan itu juga, bantuan militer khusus AS untuk Israel mencapai 14,3 miliar dolar.
Di Teluk Persia, Laut Mediterania, dan banyak pangkalan AS di negara-negara sekitarnya termasuk Irak, Bahrain, Qatar, dan Arab Saudi, AS telah mengerahkan beberapa skuadron pesawat tempur serta baterai THAAD dan beberapa baterai anti-rudal Patriot. Mereka berusaha untuk menghalangi setiap serangan terhadap Israel oleh kekuatan regional, tetapi mereka juga secara aktif berpartisipasi dalam pertempuran-seperti koalisi internasional yang dipimpin AS untuk menyerang Houthi di Yaman dan Laut Merah dan milisi di Irak dan Suriah.
AS juga secara langsung mengintervensi pengambilan keputusan Israel untuk mempengaruhi jalannya perang. Presiden Biden, Menteri Luar Negeri Antony Blinken, dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin berpartisipasi dalam rapat kabinet perang dan pemerintah Israel, memberikan tekanan yang signifikan untuk mengimplementasikan visi pascaperang mereka. Setelah menyadari bahwa visi Amerika mungkin akan lebih sulit untuk dilaksanakan selama Netanyahu masih berkuasa, para pejabat Amerika juga bertemu dengan para pemimpin oposisi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil Israel.
Dalam visi tersebut, Tepi Barat dan Jalur Gaza disatukan di bawah Otoritas Palestina yang “direformasi” (yang berarti dikendalikan oleh Amerika), dan “solusi dua negara” diimplementasikan, mengikuti serangkaian perjanjian normalisasi dengan rezim lokal, untuk “mengintegrasikan Israel ke dalam wilayah tersebut,” memastikan keamanannya, dan membangun blok pro-Amerika yang kuat untuk meningkatkan pengaruh Amerika dan mengisolasi kekuatan regional kuasi-imperialis yang bersaing seperti Iran dan Rusia.
Ini bukanlah hal yang baru. AS telah mencampuri wilayah ini untuk mempertahankan hegemoninya selama beberapa dekade. Kebijakan neokolonial untuk mendukung rezim boneka yang korup dan reaksioner yang berfungsi sebagai proksi lokal untuk menjamin kontrol Amerika atas sumber daya merupakan tradisi lama AS. Ilan Pappe menceritakan kepada kita bagaimana, setelah penarikan mundur Inggris dari Palestina pada 1948, AS sangat membutuhkan kekuatan regional yang pro-Barat. AS memutuskan untuk berinvestasi lebih jauh di Israel setelah kemenangan militernya pada tahun 1967, sebuah pukulan besar bagi gerakan nasionalis sekuler di wilayah tersebut.
Perjanjian Oslo merupakan intervensi internasional dalam politik lokal Palestina. Mereka tidak hanya mematahkan pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh jaringan desentralisasi dan horisontal dari kelompok-kelompok dan partai-partai aktivis akar rumput, tetapi juga membentuk rezim boneka yang otoriter dan kolaboratif bagi mereka yang terjajah untuk mengatur diri mereka sendiri sesuai dengan insentif dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel. Ketika rezim tersebut gagal melayani para sponsor globalnya, dengan Arafat yang berpikir bahwa ia memiliki lebih banyak ruang untuk bermanuver daripada yang diizinkan, rezim tersebut dengan cepat dihapuskan dan digantikan oleh para aktor yang lebih patuh. Pada tahun 2006, ketika warga Palestina memilih kandidat yang salah dalam pemilihan umum yang demokratis, sebuah kudeta dilakukan dan seluruh penduduk dihukum. Warga Palestina tidak diizinkan untuk membuat keputusan mengenai nasib mereka sendiri. Mereka harus tetap berada di bawah kendali ketat, karena mereka cenderung mengungkapkan elemen-elemen nakal yang tidak menguntungkan bagi hegemoni AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, dalam apa yang dijuluki Noam Chomsky sebagai “Reaksioner Internasional”, Israel telah menandatangani serangkaian perjanjian dan pakta normalisasi-dikenal sebagai Perjanjian Abraham-dengan kediktatoran lokal, monarki, dan rezim-rezim yang represif. Hal ini terjadi di bawah mediasi AS, yang bertentangan dengan kehendak penduduk negara-negara tersebut. Negara-negara yang bergabung dalam perjanjian normalisasi sejauh ini termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Arab Saudi dilaporkan juga sedang dalam perjalanan menuju normalisasi dengan Israel, namun prosesnya terhenti setelah 7 Oktober.
Dampak ekonomi dari perjanjian-perjanjian ini mencakup investasi formal dan hubungan bisnis antara kedua negara, terutama terkait industri teknologi tinggi, dan juga hubungan militer dan perdagangan senjata. Menurut Kementerian Pertahanan Israel, nilai ekspor pertahanan Israel ke negara-negara yang melakukan normalisasi hubungan pada tahun 2020 mencapai $791 juta. Kesepakatan minyak antara UEA dan Israel mengancam akan menimbulkan bencana ekologis di Laut Merah dan memperburuk kekhawatiran mengenai perubahan iklim.
Seluruh lintasan ini, ditambah dengan “solusi dua negara” sebagai buntut dari “konflik”, mewakili pola keterlibatan AS di wilayah tersebut. Sebuah proposal bahkan dibuat untuk membuat rezim “moderat” (yang berarti dikendalikan oleh AS) dari wilayah tersebut menguasai Gaza setelah genosida sampai Otoritas Palestina yang “direformasi” (yang cukup didomestikasi untuk tidak menimbulkan masalah bagi para pelanggan internasionalnya) dapat mengambil alih posisi mereka sebagai penguasa.
Teater konflik regional antara aliansi otoriter reaksioner Amerika dan aliansi otoriter reaksioner Iran menyerupai politik kubu-kubuan Perang Dingin. Jika pada waktu itu, orang-orang dibatasi untuk memilih antara model borjuis Amerika dan model borjuis Soviet, hari ini nampaknya pilihan bagi rakyat di wilayah ini sekali lagi adalah antara imperialisme Amerika dan kekuatan-kekuatan reaksioner, tirani, ekspansionis, dan kuasi-imperialis seperti Iran, Rusia, Turki, dan sampai pada tingkat tertentu Cina. Negara-negara ini memiliki visi mereka sendiri untuk wilayah ini dan aliansi mereka sendiri dengan rezim-rezim represif lainnya, yang semuanya secara brutal menindak gerakan-gerakan revolusioner yang mengganggu rencana-rencana mereka atau menjauhkan diri dari monopoli mereka atas “perlawanan”.
Tidak akan mudah untuk melepaskan diri dari jebakan terperangkap di antara dua kubu ini dan masa depan kelam yang diwakili oleh keduanya untuk wilayah ini. Tetapi kita bisa mulai dengan berfokus pada perjuangan akar rumput di lapangan, bukan pada negara dan proksi mereka. Tidak ada pemerintah yang akan menyelamatkan kita dari neraka ini.
Masyarakat Palestina telah dikhianati oleh kepemimpinan mereka berulang kali. PLO berusaha untuk menjadi “perwakilan tunggal rakyat Palestina,” hanya untuk menghancurkan intifada pertama-yang pecah di luar kendalinya dan di luar keinginannya-dan terjerumus ke dalam bencana Perjanjian Oslo. Mereka kemudian terjerat sepenuhnya dengan tatanan regional AS, menjadikannya salah satu contoh paling sukses dalam sejarah domestikasi dan netralisasi gerakan revolusioner. Perlawanan Palestina sebagai kekuatan yang tak terkendali dan tak dapat diatur, di luar kendali berbagai gelombang “representasi”, otoritas, dan mekanisme pengamanan dan manipulasi, tetap mengancam semua pihak yang bersaing untuk memaksakan tatanan dunia yang mereka sukai dan kekuatan apa pun yang berusaha mengikatnya dengan kepentingan mereka sendiri.
Selama bertahun-tahun, rezim-rezim di dunia Arab menggunakan isu Palestina sebagai satu-satunya isu yang membuat masyarakat diizinkan untuk melakukan mobilisasi dan protes; hal ini memungkinkan mereka untuk mengizinkan masyarakat untuk melampiaskan kemarahan mereka sambil membungkam kritik terhadap kebijakan mereka sendiri. Mereka juga menggunakan isu ini untuk mengklaim legitimasi, karena isu ini selalu didukung secara luas oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dana El-Kurd menunjukkan bagaimana gerakan-gerakan yang terorganisir di sekitar Palestina di negara-negara tersebut menjadi sekolah aktivisme bagi para pesertanya, yang pada akhirnya memungkinkan mereka untuk menentang pemerintah mereka sendiri. Banyak gerakan yang kemudian berpartisipasi dalam Musim Semi Arab dimulai dengan pengorganisasian solidaritas Palestina.
Bahkan rezim-rezim “radikal” yang menyamar sebagai pendukung perlawanan, seperti pemerintah Suriah, berbalik mengepung dan membantai warga Palestina segera setelah warga Palestina dianggap mengancam kepentingan mereka atau bergabung dengan gerakan-gerakan kemerdekaan, seperti yang terjadi di kamp pengungsian Yarmouk pada tahun 2014. Baik rezim “normalisasi” maupun rezim “perlawanan”, para otoriarian selalu memperlakukan perjuangan Palestina sebagai alat legitimasi, retorika kosong yang dilontarkan untuk memastikan stabilitas, meskipun kebijakan mereka pada praktiknya anti-Palestina. Pada saat-saat yang sebenarnya, setiap kali situasi menjadi tidak terkendali, mereka memperlihatkan wajah asli mereka.
Saat ini, banyak pemerintah di kawasan ini secara aktif menekan gerakan solidaritas Palestina dan penentangan terhadap genosida, karena mereka melihat bahwa gerakan-gerakan ini dapat “lepas kendali” atau mengancam upaya normalisasi yang mereka harapkan dapat meningkatkan ekonomi, militer, dan kemampuan represif mereka. Jalan keluar terbaik dari kekacauan ini mungkin adalah aliansi revolusioner dari gerakan-gerakan kebebasan di seluruh wilayah, dan mudah-mudahan di seluruh dunia — sebuah Internasional Pembebasan yang akan berdiri dengan bangga melawan dunia internasional reaksioner yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan dunia internasional otoriter yang melibatkan Iran.
Palestina sangat terkait dengan revolusi Suriah, tragedi Sudan, feminis revolusioner Iran, revolusi Rojava, pemberontakan di Lebanon, berbagai gerakan di Timur Tengah sejak Musim Semi Arab, dan-secara lebih global-gerakan Stop Cop City dan Black Lives Matter di Amerika Serikat, perjuangan antikolonial masyarakat adat di mana-mana, perlawanan anti junta di Myanmar, perlawanan Ukraina terhadap imperialisme Rusia, dan semua perjuangan untuk kebebasan dan pembebasan. Kami menarik inspirasi, kekuatan, dan pelajaran dari satu sama lain. Kemenangan Palestina di Gaza akan mengirimkan gelombang kebebasan ke pelosok-pelosok terjauh di bumi, sementara kemenangan Israel akan memberanikan mereka yang menerapkan strategi kekerasan dan genosida di mana-mana, memperkuat cengkeraman aliansi reaksioner dan otoriter terhadap seluruh populasi, dan memungkinkan mereka untuk lebih jauh menghancurkan gerakan-gerakan pembebasan, baik atas nama “stabilitas” maupun “perlawanan”. Jika kita saling bergantung satu sama lain, sebaiknya kita mulai bertindak sesuai dengan itu. Siapa yang tahu berapa banyak waktu yang tersisa.
Mencoba Menghilangkan Kabut
Para anarkis telah bereaksi terhadap genosida dan gerakan solidaritas dengan beberapa lapisan disonansi kognitif. Beberapa posisi yang membingungkan atau naif, tidak memiliki nuansa dan pemahaman tentang kondisi material yang ada di berbagai geografi dan konteks politik yang berbeda-misalnya, slogan “Tidak ada perang kecuali perang kelas” yang menyerukan agar “kaum proletar Israel dan Palestina” “bersatu” melawan “penindas bersama” dan omong kosong reduksionis kelas lainnya. Posisi-posisi lain mengarah pada Islamofobia dan teori konspirasi: “Israel menciptakan Hamas,” ”Hamas sama seperti ISIS.”
Hamas adalah subjek dari disonansi kognitif yang paling signifikan. Kaum anti-otoritarian ingin mendukung gerakan Palestina, seperti gerakan kebebasan dan pembebasan lainnya, tetapi mereka tidak dapat memahami bahwa Hamas adalah bagian organik dan integral dari gerakan tersebut, sehingga mereka mengarang cerita yang menyatakan bahwa Hamas adalah ciptaan penjajah, bahwa orang Palestina tidak benar-benar mendukung mereka, bahwa kita dapat menceritakan kisah perlawanan tanpa mereka. Mereka ingin memisahkan Hamas dari perjuangan yang lebih luas. Betapa lebih mudahnya jika hal itu bisa dilakukan!
Hamas sebenarnya adalah gerakan pembebasan nasional yang didedikasikan untuk pembebasan Palestina. Gagasan untuk menggunakan konsep jihad sebagai perlawanan anti-kolonialisme dan pertahanan diri bukanlah hal baru; gagasan ini sudah ada sejak perjuangan melawan Perancis di Suriah pada tahun 1920-an, bahkan lebih jauh lagi. Hal ini juga muncul di Aljazair dan banyak perjuangan setelahnya. Ini tidak ada hubungannya dengan merek Salafi-jihadis, dan kekhalifahan transnasional pan-Islam tidak ada hubungannya. Gerakan pembebasan Palestina bersifat heterogen dan beragam; gerakan ini mencakup banyak ideologi dan gagasan yang mungkin tidak kita setujui. Hamas layak dikritik karena patriarkinya, homofobianya, ketergantungannya pada kekuatan reaksioner seperti Iran dan rezim Assad, serta penindasan brutalnya. Kelompok-kelompok anti-otoritarian Palestina yang berani telah melakukan hal ini, seperti Gaza Youth Breaks Out pada tahun 2011. Namun, kritik kita haruslah adil dan didasarkan pada kenyataan, bukan hanya sekedar sumpah serapah.
Kita juga perlu berbicara tentang para pemukim. Ada banyak cara untuk menganalisis masyarakat Israel. Kita dapat menggunakan perbedaan yang berguna yang dibuat oleh sejarawan Ilan Pappe antara Negara Israel dan Negara Yudea. Singkatnya, di satu sisi, sayap liberal, sekuler, dan “demokratis” (demokrasi Yahudi, hanya untuk orang Yahudi) dari supremasi Yahudi, apartheid, dan kolonialisme pemukim, yang memimpin protes anti-Netanyahu di Tel Aviv dan kota-kota lain di Israel; di sisi lain, sayap yang lebih ke kanan, teokratis, dan fasis secara terbuka, yang terdiri dari para pogromis Yahudi Tepi Barat dan sekutunya. Penulis dan jurnalis anti-fasis, David Sheen, menawarkan skema lain yang berguna, yang membagi masyarakat Israel ke dalam kubu supremasi, oportunis, reformis, dan humanis.
Semua analisis ini mengeksplorasi perdebatan internal di dalam masyarakat pemukim mengenai cara terbaik untuk mengelola apartheid, kolonialisme pemukim, pembersihan etnis, dan genosida. Keretakan sosial ini bukanlah hal yang baru, tetapi telah diperburuk selama beberapa bulan terakhir. Jika kita tidak memahaminya, kita mungkin akan mengambil kesimpulan yang salah.
Sebagai contoh, beberapa rekan mengutip protes Anti-Netanyahu untuk menekannya agar menerima gencatan senjata demi mencapai kesepakatan dengan pihak perlawanan untuk membebaskan para sandera sebagai bukti bahwa banyak warga Israel yang menentang rezim tersebut. Beberapa orang bahkan menganggapnya sebagai gerakan massa anti-perang. Ini tidak akurat. Ini cocok dengan narasi anarkis karena kita terbiasa bersikeras pada perbedaan antara orang dan negara, dan banyak orang Israel benar-benar menentang Netanyahu. Namun, dukungan terhadap genosida sangat besar di berbagai kubu politik.
Sebuah papan besar dengan lampu neon di atas para pengunjuk rasa di Tel Aviv menceritakan keseluruhan cerita-bawalah kembali (para sandera), dan kembalilah (ke Gaza). Ini adalah usulan yang kurang ajar untuk melanjutkan pertempuran segera setelah para tawanan Israel dibebaskan. Ini tidak serta merta mewakili ribuan peserta, namun ini menunjukkan logika Zionis dari demonstrasi-demonstrasi ini — sebuah manifestasi lain dari supremasi Yahudi, mungkin kubu liberalnya, namun tetap saja, tidak ada kepedulian terhadap nyawa warga Palestina di sana. Suara-suara yang jujur, tulus, dan anti-Zionis yang menyerukan untuk mengakhiri genosida memang ada di Israel, dan mereka mengadakan demonstrasi kecil sesekali, yang sering kali ditindas oleh polisi dan diserang oleh kaum fasis. Mereka adalah minoritas yang kecil, dibenci, dan tidak signifikan, tanpa harapan untuk menjadi kekuatan politik dalam waktu dekat.
Kebenaran yang tidak menyenangkan adalah bahwa ketika tiba waktunya untuk melakukan pembantaian, masyarakat Israel mengesampingkan semua argumen kecil, berhenti berpura-pura menjadi masyarakat sipil di “negara demokratis”, dan bersatu untuk melakukan tugas itu. Kemudian terungkaplah apa yang sebenarnya terjadi di Israel: sebuah pangkalan militer yang sangat besar. Tidak ada perlawanan massa terhadap genosida. Protes massa terhadap perombakan peradilan berhenti selama beberapa bulan setelah guncangan pada 7 Oktober, kemudian muncul kembali dalam bentuk protes untuk pembebasan sandera, memperbaharui diskusi tentang manajemen genosida. Semua ancaman para reservasi untuk menolak bertugas berakhir setelah 7 Oktober 2023; mereka tidak pernah benar-benar berniat untuk menindaklanjutinya. Pemberontakan dan protes di Israel selalu terbatas pada narasi sempit Zionis yang secara eksplisit menggambarkan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak. Sayap-sayap fasis dan liberal Zionisme mungkin mengekspresikannya secara berbeda, tetapi supremasi Yahudi dan dehumanisasi total terhadap warga Palestina adalah benang merahnya.
Situasinya sudah memburuk, tetapi kelompok kiri radikal telah menyusut secara signifikan sejak 7 Oktober, dengan serangan-serangan yang mengejutkan masyarakat Israel hingga ke intinya, membangkitkan kecemasan para pemukim dan mendorong banyak orang “kiri” ke dalam pelukan hangat supremasi Yahudi. Kita dapat memperkirakan hal ini akan terus berlanjut. Alasannya adalah karena “kaum kiri Israel” sangat didasarkan pada gagasan bahwa “berakhirnya pendudukan” (dekolonisasi) berarti mereka dapat melanjutkan gaya hidup nyaman sebagai pemukim tanpa rasa bersalah. Sebagai contoh, salah satu pesan utama dari blok anti-pendudukan selama gerakan massa menentang perombakan peradilan yang berlangsung hingga 7 Oktober adalah bahwa “pendudukan” (yang biasanya berarti pendudukan tahun 1967) adalah “hambatan bagi demokrasi Israel,” dan jika saja kita dapat mengatasi hal tersebut, maka yang lainnya akan baik-baik saja. Tidaklah mudah untuk menemukan seseorang yang melihat bahwa seluruh rezim Israel tidak sah, bahwa pendudukan dimulai pada tahun 1948, bukan 1967, bahwa tanah itu dicuri dari sungai ke laut dan dekolonisasi berarti transformasi radikal hubungan kekuasaan.
Alfredo Bonanno mengatakan, “Solusi ideal, setidaknya sejauh yang dapat dilihat oleh semua orang yang memiliki kebebasan rakyat, adalah pemberontakan umum. Dengan kata lain, sebuah intifada yang dimulai dari rakyat Israel yang mampu menghancurkan institusi-institusi yang memerintah mereka.” Saya menyukai Bonanno dan berpikir bahwa sebagian besar pengamatannya sangat brilian, namun analisis khusus ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ini adalah bagian dari tradisi panjang para pemikir Barat yang berfokus pada masyarakat pemukim, seolah-olah mereka bisa menjadi kendaraan yang berarti untuk perubahan. Saya sangat tidak setuju. Tidak ada preseden historis bagi masyarakat pemukim atau tuan budak yang memberontak terhadap hak-hak istimewa mereka sendiri, dan saya tidak berpikir Palestina akan menjadi yang pertama untuk keluar dari jalur ini.
Ada masyarakat pemukim-kolonial, seperti AS, yang berhasil mengembangkan tradisi pengkhianat ras yang membanggakan setelah melalui perkembangan yang panjang. Kita melihat hal ini selama pemberontakan George Floyd; Aljazair Prancis menawarkan contoh lain. Saya percaya bahwa hal ini secara teoritis mungkin terjadi pada masyarakat pemukim di Palestina, mungkin pada suatu saat nanti, tapi mungkin tidak sekarang. Beberapa warga Israel melangkah jauh melampaui “kaum Kiri Israel” dan sepenuhnya mengkhianati masyarakat “mereka”, berpindah haluan, dan bergabung dengan perjuangan rakyat Palestina, di bawah persyaratan dan kepemimpinan Palestina. Beberapa bahkan bergabung dengan perjuangan bersenjata. Jumlahnya sangat sedikit, jauh dari mewakili fenomena yang signifikan dalam masyarakat Israel.
Mereka yang ingin mengekspresikan solidaritas dengan warga Israel yang sangat sedikit yang anti-Zionis harus melakukannya. Ini adalah tujuan yang baik dan mereka akan menghargainya. Namun sejujurnya, dukungan terhadap perlawanan Palestina jauh lebih penting saat ini. Kita harus mendukung perlawanan terhadap kekerasan kolonialisme pemukim dan genosida.
Ini mungkin tidak nyaman, tetapi kita harus melakukan percakapan ini. Tidak ada yang harus setuju dengan saya, saya berbicara dari sudut pandang dan kondisi saya sendiri, dan ini dapat dilihat sebagai upaya saya untuk menarik perhatian kubu asal saya, yaitu kelompok kiri radikal anti-Zionis Israel. Menurut pendapat saya, “ Sayap Kiri Israel” adalah jalan buntu. Saya tidak punya alasan untuk meragukan niat dari banyak kawan-kawan saya yang dulu dan sekarang berada di “blok anti-pendudukan” dan “blok radikal” di Tel Aviv dan kota-kota lain. Mereka jujur, berani, berjiwa pemberontak; banyak dari mereka yang benar-benar berjuang demi kehidupan warga Palestina, berjuang untuk mengakhiri genosida.
Namun, mereka yang telah berhasil melepaskan diri dari kultus Zionisme kini harus mengambil langkah maju. Kepada mereka, saya ingin mengatakan bahwa kita harus berhenti melihat diri kita sendiri sebagai aktor dalam masyarakat Israel, mencoba memperbaiki atau mereformasi masyarakat Israel untuk menyelamatkannya dari dirinya sendiri. Akan lebih baik jika kita mengadopsi kerangka kerja Al-Araj tentang kubu pembebasan vs kubu penjajah,4 dan pemahaman Fanon tentang dan pemahaman Fanon tentang adopsi identitas perlawanan sebagai pilihan politik dan bukan sebagai masalah ras atau asal-usul, dan bekerja untuk melepaskan identitas pemukim sepenuhnya.
Inilah yang telah diserukan oleh orang-orang Palestina kepada kita selama bertahun-tahun. Tidak ada reformasi dalam masyarakat yang sakit; tidak akan berhasil untuk menarik kepentingan dari sebuah sistem yang sudah busuk sampai ke intinya. Tidak ada satu detik pun dalam sejarah negara ini sejak awal berdirinya yang tidak didasari oleh kekerasan yang intens dan dehumanisasi total. Ini adalah panggilan untuk desersi, perlawanan dan pengkhianatan, berpindah pihak, dengan segala risiko, penindasan, penyiksaan, dan kematian yang mungkin terjadi. Ini tidak mudah, tetapi kita memiliki sejarah global yang kaya untuk dipelajari. Kita dapat mengingat John Brown dan milisinya, atau orang-orang Prancis di Aljazair yang berpindah pihak dan bergabung dengan FLN (Front de Libération Nationale, “Front Pembebasan Nasional”). Apa yang dipahami oleh orang-orang tersebut, pada titik-titik sejarah yang krusial, adalah bahwa terlepas dari apa yang dikatakan oleh interpretasi liberal tentang “politik identitas”, ketika revolusi memanggil, ini bukan tentang menjadi “sekutu” yang pasif atau memeriksa hak-hak istimewa Anda, tetapi menceburkan diri Anda ke dalam perjuangan. Identitas menjadi sebuah pilihan politik, berdasarkan tindakan, bukan asal-usul.
“Pemukim bukan sekadar orang yang harus dibunuh. Banyak anggota massa dari penjajah yang menunjukkan diri mereka jauh, jauh lebih dekat dengan perjuangan nasional dibandingkan dengan keturunan bangsa tertentu.”
Frantz Fanon, The Wretched of the Earth
Kecemasan tentang dekolonisasi tidak datang begitu saja. Tidak ada yang dijanjikan kepada kita. Bahkan pembebasan itu sendiri, sejujurnya. Beberapa proyek kolonial telah berakhir dengan damai, dengan transisi rezim dan komite rekonsiliasi, seperti di Afrika Selatan; yang lain berakhir dengan pertumpahan darah, seperti di Aljazair. Bahkan contoh konfederalisme libertarian dan konfederasi di Rojava pun tidak berjalan mulus. Tidak ada satu pun dari kasus-kasus ini yang sempurna. Pembebasan selalu merupakan proses yang berantakan dan berdarah dalam kehidupan nyata.
Eve Tuck dan K. Wayne Yang, dalam esai mereka “Decolonization Is Not a Metaphor,” menjelaskan bahwa dekolonisasi tidak dapat dibandingkan dengan perjuangan keadilan sosial lainnya-ini dimaksudkan untuk meresahkan, karena tidak diragukan lagi akan membebaskan pemukim-termasuk pekerja-dari sumber daya yang dicuri. Kita harus jujur dengan apa yang kita katakan. Sebagai contoh, dalam perdebatan mengenai frasa “ from the river to sea,” apakah itu berarti demokrasi atau penghapusan Israel — jawaban sederhananya adalah bahwa frasa itu berarti keduanya. Dekolonisasi pada kondisi Palestina-penghapusan Zionisme, kembalinya para pengungsi, berakhirnya kekuasaan militer, dan persamaan hak-hak sipil-akan berarti bahwa Palestina akan kembali seperti sebelum penjajahan Zionis, sebuah tanah yang berpenduduk Arab. Saya percaya bahwa orang-orang Yahudi akan diterima untuk tinggal-mereka yang bersedia untuk hidup setara dengan orang-orang lain di tanah itu, tanpa sistem pemisahan dan hak istimewa yang rasis berdasarkan etnisitas.
Mengenai reduksionisme kelas, tidak ada dasar material untuk “solidaritas kelas” antara “orang Palestina dan Israel”. Di bawah kolonialisme pemukim, mereka bukanlah kelas yang sama. Orang Yahudi dan orang Arab tidak setara, bahkan ketika mereka bekerja di tempat kerja yang sama. Seperti yang dikatakan Frantz Fanon, dalam konteks kolonial, penindasan nasional adalah yang utama dan penindasan kelas adalah yang kedua. Koloni pemukim tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja dari kaum terjajah atau sumber daya tanah di wilayah jajahan, seperti jenis kolonialisme lainnya; kolonialisme ini didasarkan pada penghapusan total kaum terjajah melalui pembersihan etnis, genosida, atau keduanya.
Menurut sejarawan Ilan Pappe, Zionisme, seperti halnya gerakan kolonialisme pemukim lainnya, membutuhkan pemusnahan atau pengusiran penduduk asli untuk bisa berhasil. Banyak gerakan semacam itu terdiri dari para pengungsi Eropa yang melarikan diri dari pengucilan dan penganiayaan, mencari tempat untuk membangun Eropa baru mereka sendiri. Penduduk asli selalu menjadi penghalang bagi visi utopis semacam itu, dan solusinya biasanya adalah kampanye besar-besaran genosida dan pembersihan etnis. Proyek-proyek kolonialisme pemukim serupa, seperti Amerika Serikat, Australia, Afrika Selatan, dan Kanada, juga sering kali menemukan pembenaran religius untuk bermukim, menggunakan negara adidaya untuk mendapatkan pijakan di tanah asing, kemudian mencari cara untuk menyingkirkan kekuasaan yang membantu mereka dan juga mayoritas penduduk asli.
Israel telah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa di mana pun mereka melakukan pembersihan etnis secara besar-besaran, seperti pada tahun 1948, atau selama genosida saat ini di Gaza, targetnya bukanlah kaum proletar Palestina, tetapi orang-orang Palestina sebagai sebuah bangsa. Semua kelas dan kelompok sosial menjadi target.
Jika Marx saja mengakui bahwa perjuangan untuk delapan jam kerja sehari di Amerika Serikat tidak dapat dimulai sebelum penghapusan perbudakan, maka kaum kiri Barat saat ini harus dapat mencapai kesimpulan yang sama mengenai kolonialisme pemukim dan apartheid. Jika kita ingin memiliki pijakan yang berarti dalam gerakan solidaritas, kita harus mengakui bahwa beberapa masalah tidak dapat direduksi menjadi kelas.
Kaum revolusioner telah membuat kesalahan ini sebelumnya. Banyak anarkis laki-laki di CNT (Federación Anarquista Ibérica, “Konfederasi Buruh Nasional”) selama revolusi Spanyol meremehkan organisasi perempuan Mujeres Libres (“Perempuan Merdeka”), menyatakan bahwa penindasan gender merupakan hal yang kedua setelah perjuangan kelas, dan bagaimanapun juga, revolusi akan menyelesaikannya. Hari ini, kita tahu bahwa menggulingkan kapitalisme tidak akan begitu saja menghapuskan patriarki. Kita dapat menciptakan masyarakat tanpa kelas yang masih tetap seksis dan menindas perempuan dan jenis kelamin lainnya. Beberapa kaum kiri melihat gerakan Kibbutz sebagai contoh masyarakat sosialis libertarian, mengabaikan fakta bahwa Kibbutz adalah proyek rasis dan kolonialis untuk orang Yahudi saja, yang dibangun dalam konteks pencurian tanah oleh Zionis, sering kali di atas reruntuhan fisik desa-desa yang telah dibersihkan secara etnis. Tanpa analisis yang tepat tentang kolonialisme pemukim dan pemahaman tentang penindasan nasional sebagai isu utama, pemahaman apa pun tentang situasi di Palestina akan tetap menjadi upaya canggung untuk mengimpor pandangan dan solusi asing ke dalam geografi dengan masalah yang sangat berbeda.
Seiring dengan komitmen untuk memerdekakan Palestina, saya ingin menyarankan kepada kawan-kawan untuk mengizinkan Palestina memerdekakan mereka juga. Hal ini bisa berjalan dua arah. Jangan berpartisipasi dalam gerakan ini hanya untuk berkhotbah, tetapi juga untuk mendengarkan. Kita tidak boleh melepaskan perspektif dan kritik kita, tetapi kita harus menggunakan kesempatan ini untuk memperkaya diri kita sendiri dan memperluas wawasan kita dengan belajar dari perjuangan pembebasan lainnya, alih-alih hanya mencoba untuk memaksakan gagasan yang sudah terbentuk sebelumnya pada mereka. Saya ingin sekali mendiskusikan topik-topik sensitif dengan kawan-kawan Palestina, seperti ketergantungan perlawanan bersenjata terhadap elemen-elemen reaksioner seperti Iran dan Suriah5. Tetapi saya harus bisa melakukan ini sebagai seorang kawan, dari dalam perjuangan, setelah membangun hubungan saling percaya dan menerima pandangan dunia Palestina, bukan sebagai seorang kiri yang mengkritik dari luar. Jika yang kita lakukan hanyalah menghabiskan waktu dengan orang-orang seperti kita, itu akan terlihat, dan itu akan berdampak buruk bagi kita. Orang-orang akan menyadari hal ini, dan ini akan menyabotase hubungan kepercayaan yang sedang kita coba bangun di dalam gerakan ini.
Menghadapi Zaman Genosida
Tatanan dunia kolonial telah membagi dunia menjadi bagian yang “beradab”, bagian Global Utara yang tidak dapat ditembus di mana demokrasi liberal berlaku, dan ladang genosida yang luas yang dipenuhi dengan populasi yang berlebih untuk dimusnahkan, diperbudak, dirampok sumber dayanya, dan dilupakan. Dalam konteks pemukim-kolonial, proses ini terjadi di wilayah yang sama, tanpa jarak geografis antara koloni dan kota metropolitan. Ghetto, kota yang terkepung, kekuasaan militer, dan sistem segregasi etnis dibangun, membagi orang-orang yang dijajah ke dalam beberapa kelas orang yang tertindas, membangun penghalang mental ketika penghalang fisik tidak ada, dan memastikan tidak ada pembauran antara penduduk asli dan pendatang.
Ada beberapa cara di mana tatanan kolonial dapat keluar dari keseimbangan. Salah satunya adalah fasisme, di mana praktik-praktik kolonial dibawa masuk ke dalam, ke dalam kota. Dalam hal ini, praktik-praktik genosida dan rasialisasi yang sebelumnya diperuntukkan bagi populasi yang berlebih di daerah jajahan, digunakan untuk melawan populasi yang tidak diinginkan di dalam negeri. Namun tatanan kolonial juga bisa menjadi tidak seimbang saat terjadi pemberontakan. Penduduk asli, yang menolak untuk dikungkung di tempat mereka, mendobrak benteng koloni yang seharusnya tidak dapat ditembus — yang ternyata sangat mudah ditembus — dan, seperti yang dikatakan Fanon, mereka membanjiri kota-kota terlarang, mengambil semua yang menghalangi mereka.
Selama beberapa dekade, Israel berusaha untuk mempertahankan populasi pemukim demokratis liberal yang kebarat-baratan, yang merasakan rumah (Eropa) yang jauh dari rumah, setelah rumah asli mereka menjadi terlalu berbahaya bagi mereka. Orang-orang Yahudi non-Eropa lainnya dipersilakan untuk bergabung, selama mereka adalah orang Yahudi dan menerima hegemoni Barat. Tembok beton, ghetto yang terisolasi, dan penghalang mental ditanamkan untuk memisahkan masyarakat pemukim dari kekerasan sehari-hari yang brutal yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan ini. Tidak ada satu cara untuk melakukan hal ini. Strateginya meliputi penghapusan budaya (misalnya, warga Palestina yang memiliki kewarganegaraan menjadi “orang Arab Israel”); kampanye pembersihan etnis secara besar-besaran jika memungkinkan (seperti pada tahun 1948) dan jika tidak, kampanye kecil-kecilan, seperti Yahudisasi6 di Galilea, Naqab, dan lingkungan-lingkungan di Yerusalem, Jaffa, dan Haifa7; pemerintahan militer8; manajemen konflik, pemisahan rasial yang ketat, dan kontra-pemberontakan, seperti yang terlihat dalam Perjanjian Oslo, tembok pemisah di Tepi Barat, dan pengepungan Gaza; dan genosida. Saat ini tampaknya manajemen konflik, setidaknya, telah gagal.
Israel telah dipermalukan lebih dari sekali dalam beberapa tahun terakhir. Negara ini kehilangan kendali selama pemberontakan tahun 2021 dan sekali lagi pada 7 Oktober 2023. Palestina telah terbukti berkali-kali menjadi kekuatan yang tidak terkendali, yang mampu mengancam negara adidaya nuklir yang didukung oleh kekaisaran terkuat di dunia, meskipun kekaisaran tersebut telah menggelontorkan miliaran dolar untuk aparat keamanan, kontra-pemberontakan, dan teknologi canggih. Warga Israel telah menyadari bahwa negara ini tidak mampu memberikan keamanan meskipun memiliki kekuatan besar, dan mereka mulai panik. Kita hanya bisa memperkirakan bahwa hukuman bagi para pemberontak akan semakin kejam seiring dengan meningkatnya tekanan dari warga Israel yang terkejut dan kekuatan-kekuatan internasional untuk mengendalikan para pemberontak Palestina.
Sangat mungkin bahwa seiring berjalannya waktu, area genosida akan meluas, dan lebih banyak orang akan diperlakukan sebagai populasi yang berlebih. Tidak ada jaminan bahwa kita, warga negara yang memiliki hak istimewa dalam peradaban, pada akhirnya tidak akan menemukan diri kita berada di sisi yang salah dari tembok itu. Kaum minoritas rasial sudah mengetahui hal itu, dan bagi kita semua-kita tidak boleh mengandalkan kulit putih kita, seperti yang ditemukan oleh orang Yahudi selama Perang Dunia Kedua, orang Irlandia yang merasakannya di bawah penjajahan Inggris, dan orang Ukraina yang mengalaminya hari ini. Seperti halnya kulit putih yang dapat diberikan, kulit putih juga dapat direnggut.
Setiap kali sebuah kekuasaan mencap sebuah demografi baru sebagai populasi yang berlebih, batas-batas di sekitar “peradaban” pun bergeser. Semakin mereka berhasil menjebak sebagian populasi bumi dalam neraka, semakin suram dan tidak menentu masa depan kita. Semakin mereka berhasil menumpas pemberontakan orang-orang yang tidak diinginkan, semakin besar keberhasilan mereka akan menginformasikan kepada kekuasaan-kekuasaan lain dan tatanan-tatanan dunia yang saling bersaing. Sama seperti kita terinspirasi oleh setiap pemberontakan budak dan pemberontakan ghetto, rezim-rezim juga mengambil catatan dan inspirasi satu sama lain dalam hal penindasan. Kita semua sangat terhubung.
Apa yang harus kita lakukan, kita yang berada di entitas ini atau itu, warga negara Global Utara, baik sebagai pemukim di koloni atau pusat kekuasan? Sulit bagi saya untuk mengatakannya. Berada di daerah pedalaman yang diduduki, yang, seperti yang saya katakan, tidak secara terbuka memberontak saat ini, apakah adil bagi saya untuk mengadvokasi hal-hal yang tidak saya lakukan sendiri? Kami merasa perlu melakukan pemberontakan, tetapi komunitas kami rusak dan hancur, orang-orang lumpuh, dan luka-luka masih terbuka dari putaran terakhir penindasan. Saya tidak bisa memberi tahu siapa pun apa yang harus dilakukan. Yang bisa saya lakukan adalah berbagi perspektif saya. Ini bagi Anda untuk menganalisis kondisi Anda dan melihat apa yang cocok.
Kawan-kawan di pusat kekuasaan yang disebut Amerika Utara telah menunjukkan perlawanan yang luar biasa dan menginspirasi. Kawan-kawan di Eropa juga demikian. Sabotase, blokade pelabuhan, demonstrasi, okupasi kampus-semua ini sangat berarti, dan beberapa di antaranya telah meraih pencapaian yang signifikan. Saya tidak ingin mengklaim, seperti yang dilakukan beberapa orang, bahwa aksi-aksi ini tidak menghasilkan apa-apa sejauh ini. Kita tidak tahu bagaimana keadaan Gaza saat ini jika bukan karena aksi-aksi berani ini. Membangun gerakan itu sendiri merupakan hal yang penting. Sebuah generasi baru telah dipolitisasi dan diradikalisasi, dan mereka akan meneruskan perjuangan ini.
Tapi satu hal yang pasti. Kami tidak menghentikan genosida.
Kita harus fokus. Genosida telah berlangsung selama satu tahun, dan pada saat ini, tidak ada tanda-tanda melambat atau tetap terbatas di Gaza. Saya percaya bahwa waktu untuk meningkatkannya adalah sekarang. Implikasinya sangat besar. Saat ini, Israel berkomitmen untuk berperang dengan Lebanon dan mungkin juga dengan Iran. Skenario terburuk tampaknya sedang berlangsung. Hal ini akan membuat situasi semakin tidak terkendali; hal ini dapat menyebabkan perang regional yang melibatkan jumlah kematian dan kehancuran yang tak terbayangkan. Kita menghadapi tatanan dunia yang benar-benar gila yang berniat untuk menyebabkan kehancuran maksimum pada segala sesuatu yang menghalangi jalannya. Kita tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Kita terlibat dan apa yang terjadi akan merefleksikan diri kita.
Dari apa yang terlihat, selama pendudukan semester lalu, kawan-kawan di AS mengembangkan banyak elemen pemberontakan untuk berkembang dan meluas. Mereka juga menghadapi banyak polisi-beberapa berseragam, yang lain bersembunyi di dalam gerakan, seperti kaum liberal, pasifis, “aktivis” profesional, dan reformis. Orang-orang perlu menemukan cara untuk menghadapi mereka. Jangan terjebak pada taktik-taktik kontra-insurgensi yang dimaksudkan untuk menenangkan Anda, memecah belah dan memfragmentasi gerakan, mendefinisikan untuk Anda apa yang “dapat diterima” dan “sah”, atau membatasi batas-batas protes. Jadilah berani, tidak terkendali, dan tidak bisa diperintah. Selebihnya terserah Anda untuk menganalisis, sejauh menyangkut taktik, tetapi jangan biarkan siapa pun membatasi Anda.
Abaikan juga kampanye kotor. Mereka mungkin akan menjadi lebih keras jika gerakan ini menjadi lebih sukses. Saya sudah melihat media dan propaganda Zionis yang menggambarkan protes-protes tersebut sebagai “pogrom antisemit”. Saya tidak perlu menghabiskan waktu untuk menjelaskan betapa konyolnya hal ini.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/19.jpg
Kita semua tahu bahwa agen-agen represif Israel dan AS berlatih bersama, dan berbagi tips, alat, dan taktik tentang bagaimana menekan populasi dan gerakan kebebasan. Hal ini seharusnya menjadi perhatian siapa pun yang terlibat dalam perjuangan lokal, seperti Stop Cop City, Black Lives Matter, solidaritas penduduk asli, dan dukungan bagi para migran dan pengungsi. Kita juga tahu bahwa Israel mengekspor senjata dan teknologi represif ke mana-mana. Alat-alat AI sedang dikembangkan dan digunakan untuk mengotomatiskan identifikasi dan pembunuhan “tersangka”. Dan kita tahu bahwa yang terjadi adalah sebaliknya-Israel mengebom Gaza (dan sekarang juga Lebanon) dengan senjata dan dukungan penuh dari Amerika. Ini adalah perang Amerika (dan Eropa) seperti halnya perang Israel. Pusat kekuasaan Global Utara benar-benar terlibat dan merupakan bagian dari agresi, dan ini membuat warga negaranya menjadi bagian yang aktif juga.
Tidak sepenuhnya mungkin untuk secara fisik bergabung dengan perjuangan bersenjata di lapangan seperti yang bisa dilakukan di Rojava atau Ukraina, tetapi tidak perlu. Orang-orang bisa datang ke Palestina untuk berpartisipasi dalam perjuangan rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh warga negara Amerika dan Eropa yang berani; beberapa di antara mereka telah menjadi martir. Hal ini membantu, tetapi perlawanan meminta sesuatu yang lain: ubahlah kota-kota Anda sendiri di pusat kekuasaan menjadi medan pertempuran. Bawa perang ke rumah. Buka front lain. Bergabunglah dengan kamp pembebasan, seperti yang dikatakan Al-Araj, dan kobarkan semangat melawan tatanan dunia yang membiarkan hal ini terjadi. Mereka harus merasakan konsekuensinya. Saya yakin pemberontakan masih mungkin terjadi, di sini, di Pedalaman juga, tetapi itu akan menuntut kita untuk menjadi berani, seperti orang-orang di Gaza.
cdn.crimethinc.com/assets/articles/2024/10/03/7.jpg
Satu hal terakhir yang ingin saya tanyakan-saat saya menulis artikel ini, pertempuran di medan perang di Lebanon, Iran, dan di tempat lain meningkat secara signifikan. Jika perang besar meletus di tempat lain, perhatian dunia akan teralihkan dan Gaza akan terlupakan. Orang-orang harus berjuang untuk kehidupan rakyat Lebanon juga, tapi jangan berhenti berbicara tentang Gaza dan bertindak demi orang-orang di sana. Genosida di sana belum berakhir. Bahkan mungkin akan semakin meningkat ketika perhatian teralihkan dari sana.
Angkat suara Anda, kibarkan bendera revolusi.
Tidak ada suara yang lebih lantang dari suara pemberontakan.
“Jika aku harus mati,
Anda harus hidup
untuk menceritakan kisahku
untuk menjual harta bendaku
untuk membeli sepotong kain
dan beberapa senar,
(membuatnya putih dengan ekor yang panjang)
sehingga seorang anak, di suatu tempat di Gaza
sambil menatap surga di matanya
menunggu ayahnya yang pergi dalam kobaran api-
dan tak mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun
bahkan tidak kepada dagingnya
bahkan untuk dirinya sendiri-
melihat layang-layang, layang-layang yang kau buat, terbang di atas
dan berpikir sejenak ada malaikat di sana
membawa kembali cinta
Jika aku harus mati
biarlah itu membawa harapan
biarlah itu menjadi sebuah kisah.”-Refaat Alareer, (1979–2023), penulis dan penyair. Pada 6 Desember 2023, ia terbunuh oleh serangan udara Israel di Gaza bersama dengan saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, dan anak-anak mereka.
Daftar Pustaka
- Rev & Reve, The Gaza ghetto uprising [YouTube]
- From the Periphery, Understanding Hamas: Anti-Authoritarian Perspectives [YouTube]
- Anonymous, “Hamas, Anarchists in the West, and Palestine solidarity”
- Bassel Al-Araj, “Why do we go to War?”
- Bassel Al-Araj, Live Like a Porcupine, Fight Like a Flea
- Eve Tuck, K. Wayne Yang, “Decolonization is not a metaphor”
- Ilan Pappe, “The Collapse of Zionism”
- Aufheben, “Behind the 21st century intifada”
- Budour Hassan, “The Colour Brown: De-Colonizing Anarchism and Challenging White Hegemony”
- Serafinski, Blessed is the Flame
- Tareq Baconi, Hamas Contained: The Rise and Pacification of Palestinian Resistance
- Ilan Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine
- Frantz Fanon, The Wretched of the Earth
- Edward Said, The Palestine Question
- Edward Said, Orientalism
- Rashid Khalidi, The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017
- Dana El-Kurd, Polarized and Demobilized: Legacies of Authoritarianism in Palestine
Translation courtesy of Heart Void.
-
Demikian menurut data resmi dari Kementerian Kesehatan Gaza. Selain jumlah tersebut, lebih dari 10.000 orang hilang, dan tidak diketahui berapa banyak lagi yang masih terkubur di bawah reruntuhan. Penting untuk diingat bahwa Israel secara sistematis menghancurkan sistem layanan kesehatan Gaza, membuatnya nyaris runtuh, dan sejak saat itu, jumlahnya terjebak di angka 40.000 orang. Perkiraan lain menyebutkan angka yang jauh lebih tinggi. ↩
-
Diterjemahkan oleh Resistance News Network. ↩
-
Front ini telah meningkat dan saat ini masa depan orang-orang di Lebanon tidak menentu. Pada tanggal 23 September, sebuah serangan IDF ke Lebanon menewaskan sedikitnya 570 orang. Pada tanggal 27 September, Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, dibunuh, dan jutaan orang di Lebanon terusir dari rumah mereka. Sekarang Israel menyerang Lebanon selatan. ↩
-
“Saya tidak lagi melihat ini sebagai konflik antara Arab dan Yahudi, antara Israel dan Palestina. Saya telah meninggalkan dualitas ini, penyederhanaan konflik yang naif ini. Saya telah menjadi yakin akan pembagian dunia oleh Ali Shariati dan Frantz Fanon (ke dalam kubu kolonial dan kubu pembebasan). Di masing-masing dari kedua kubu tersebut, Anda akan menemukan orang-orang dari berbagai agama, bahasa, ras, etnis, warna kulit, dan kelas. Dalam konflik ini, misalnya, Anda akan menemukan orang-orang dari kulit kami berdiri dengan kasar di kubu lain, dan pada saat yang sama Anda akan menemukan orang-orang Yahudi berdiri di kubu kami.” -Bassel Al-Araj ↩
-
Ini adalah topik yang sensitif. Hamas awalnya mendukung revolusi Suriah pada tahun 2012 dan memutuskan hubungan dengan Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Langkah ini memutus dukungan finansial yang diterima gerakan ini dari Iran. Satu dekade kemudian, dalam sebuah pernyataan kontroversial, Hamas memulihkan hubungan dengan Assad. Kekacauan politik dan pergeseran aliansi di Timur Tengah selama Musim Semi Arab, kudeta militer terhadap Mohamed Morsi di Mesir dan penutupan terowongan Gaza di sisi Mesir, serta pakta normalisasi antara berbagai rezim lokal dengan Israel, semuanya berfungsi untuk mengisolasi Hamas dan memaksanya untuk “memilih satu sisi.” Dalam kedua kasus tersebut, saya percaya bahwa, sama seperti kaum anarkis dan anti-otoritarian di Barat yang dapat memahami keputusan yang diambil oleh orang-orang di Rojava untuk menerima bantuan Amerika ketika menghadapi pasukan genosida ISIS di Kobane, mereka juga dapat memahami keputusan yang diambil oleh orang-orang Palestina dalam kondisi yang sulit. Hingga kita telah membangun sebuah Pembebasan Internasional yang dapat memberikan dukungan material yang nyata bagi perjuangan di lapangan, akan ada batasan seberapa banyak kita dapat mengkritik keputusan yang dibuat oleh mereka yang menghadapi ancaman pemusnahan, yang terjebak di antara kekuasaan-kekuasaan yang saling bersaing dan tatanan-tatanan regional. Ini bukan berarti kita tidak boleh mengkritik sama sekali, tetapi setidaknya kita harus melakukannya dengan nuansa dan konteks. ↩
-
Di bawah kapitalisme global neoliberal, pembersihan etnis juga dapat diprivatisasi. Upaya-upaya Yahudisasi dapat berada di bawah manajemen organisasi pemukim atau agen real estat, sehingga memungkinkan masalah ini disajikan sebagai sengketa real estat yang sederhana. Keterlibatan organisasi pemukim Amerika dalam upaya penggusuran penduduk Palestina di Yerusalem timur, dan gentrifikasi di Jaffa dan beberapa lingkungan di Haifa, secara intrinsik terkait dengan kampanye pembersihan etnis yang telah berlangsung selama beberapa dekade, dengan wajah yang berbeda, ketika sistem kolonial beradaptasi dengan peluang dan situasi yang baru. ↩
-
Hanya ada waktu setengah tahun, pada tahun 1966, ketika Israel tidak memberlakukan pemerintahan militer terhadap warga Palestina. Komunitas internal orang-orang yang tercerabut dari wilayah yang kemudian menjadi Israel berada di bawah kekuasaan militer hingga 1966; kemudian Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza setahun kemudian dan memberlakukan kekuasaan militer di sana. ↩